Sayang Abang

Rissa Sahara
Chapter #14

Agam dan Hanan #14

Enam bulan semenjak insiden itu, hidup Agam dan Abangnya tentu berubah. Berbekal dengan tabungan Abang dan pekerjaannya yang berganti menjadi penyemir sepatu, mereka mencoba bertahan hidup. Kaki kiri Abang memang tak sempurna seperti dulu, ia harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Tetapi, Abang pernah berkata, itu tidak terlalu buruk. Dia masih bisa berjalan, menghirup oksigen, menyaksikan Agam, masih bisa makan walau terkadang satu hari sekali, masih mempunyai rumah untuk ditinggali, Abang masih mempunyai banyak hal yang patut disyukuri. Melihat Abang yang seperti itu, Agam ikut turut seperti Abang. Mencoba menjalani hidup sama seperti sebelumnya.

Sekarang, ada kegiatan baru yang Agam lakukan setelah pulang sekolah. Ia tidak akan langsung pulang. Tetapi mampir ke tempat Abang bekerja. Terlebih lagi, sekarang jadwal pulang sekolah Agam sedikit lebih cepat, jadi ia bertambah senang.

Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke tempat Abang jika berjalan kaki dari sekolahnya. Memang membutuhkan tenaga lebih, apa lagi ketika sedang panas, dan tas yang ia bawa berat karena buku. Tetapi Agam tak masalah, dengan begitu, ia akan menjadi kuat, bukan?

Selama perjalanan, pemandangan bangunan yang masih rusak karena belum diperbaiki masih belum bisa terbiasa di mata Agam. Memang tidak separah saat itu, namun sisa bangunan yang rusak bisa membuat ingatan Agam ke kejadian Mei lalu. Awal kerusuhan terjadi memang hanya pada di kota saja. Tetapi, lama-kelamaan kerusuhan menyebar, bahkan sampai ke wilayah Deli Serdang, tak terkecuali tempat tinggal Agam. Daerahnya menjadi tempat paling lama mengalami kerusuhan. Ini bukan tentang lagi mahasiswa dan demonya, tetapi sudah merebah ke masyarakat. Dari mulut ke mulut, isu yang selalu di dengar oleh Agam adalah, ricuh yang menyebar ke hampir seluruh wilayah adalah ulah preman-preman jalanan yang memanfaatkan momen itu. Naasnya, banyak yang menjadi korban baik secara fisik maupun mental.

Agam menghela napas. Kalau dipikir-pikir, di antara banyaknya korban, abangnya itu salah satu korban, bukan? Ah, jika dipikir-pikir, semua yang ada di sini adalah korban. Memang tak terluka secara fisik maupun batin, tetapi pasti ada saja hal yang merugikan akibat kejadian itu. Salah duanya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.

Agam tahu betul, karena temannya kehilangan tempat tinggal karena kejadian itu.

“Hanan!”

Itu dia, Hanan. Teman yang Agam maksud. Lucu sekali. Padahal beberapa bulan lalu, mereka layaknya musuh, tidak bicara, bahkan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan Agam akan berteman dengan Hanan. Agam sendiri pun, awalnya meragukan, tetapi itulah faktanya. Ia berteman dengan Hanan. Bahkan sangat dekat.

Rumah Hanan di pinggir kota. Bisa dikatakan salah satu tempat yang merupakan korban dari amukan massa. Hanan yang waktu itu sedang bermain, melihat langsung porak-porandakan yang dilakukan oleh preman-preman. Hanan tak dapat mengelak, ia yang memiliki usaha kecil-kecilan di depan rumah ikut diamuk saat itu. Dia dan keluarga tidak dapat berkutik. Sebagian hartanya hilang dan keadaan rumahnya hancur.

Agam tahu, Hanan memiliki ayah tiri keturunan Tionghoa. Kebencian masyarakat kepada ras Tionghoa saat itu membuat rumah dan usaha yang dimiliki keluarga Hanan ikut menjadi korban. Mereka harus mengungsi. Siapa sangka, saudara Hanan yang memberi tempat untuk keluarga Hanan tinggal sementara berada di dekat rumah Agam.

Di sini, awal dari pertemanan mereka berdua terjadi. Di sini pula, Agam tahu alasan Hanan dulu sering mondar-mandir di dekat rumahnya, karena ia memang sering berada di rumah saudaranya. Hanan dulu memang jarang pulang karena kehadiran sosok ayah tiri yang sangat berbeda dengannya. Memiliki ayah baru berkulit putih dan mata sipit membuat Hanan merasa tidak nyaman kala itu. Hal itu juga yang menjadi akar sikap pemberontak pada diri Hanan. Tetapi sekarang jika ditanya, Hanan sudah mulai menerima ayah barunya.

Kedekatan mereka berdua pun, sebenarnya tidak disengaja. Hanya karena terlalu sering berpapasan ketika sama-sama di luar, atau karena saudara Hanan sering menyuruh anak itu untuk membagikan lauk pauk ke rumah Agam dan abangnya. Secara alamiah, mereka berbicara dan dekat.

Apa pertemanan sesama laki-laki seperti ini? Padahal Hanan sering mengejek Agam, dan Agam pernah memukul Hanan. Apakah semudah ini? Jujur, setelah bercakap dengan Hanan, rasa tidak suka kepada anak itu lenyap begitu saja dari diri Agam.

“Rumahku sudah hampir jadi.”

Berita bagus. Butuh waktu lama untuk keluarga Hanan memperbaiki rumah yang rusak karena menyesuaikan keadaan ekonomi yang ada. Sontak ketika mendengar kabar itu, bibir Agam tersenyum.

Lihat selengkapnya