Satu tahun sudah berlalu. Agam akan naik ke kelas tiga SMP. Sama seperti sebelumnya, dia mendapatkan nilai paling tinggi seangkatan. Hal itu membuat Abang tersenyum tanpa henti selama satu Minggu. Agam tidak mengerti, padahal yang seharusnya bersikap demikian adalah dirinya, bukan Abang. Tapi melihat Abang yang terus bercerita kepada pelanggan sepatunya, tentang ia yang mempunyai adik pintar, membuat Agam ikut senang.
“Coba saja kalau kita makan tiga kali sehari, pakai sayur-sayuran, ikan, Agam pasti lebih pintar dari ini,” oceh abangnya ketika Agam sedang menemaninya bekerja. Saat ini, Abang sedang duduk, karena belum ada pelanggan baru, sedangkan sepatu yang harus diperbaiki dan disemir telah selesai semua. Alhasil, keduanya sibuk memandangi lalu-lalang orang sambil bercakap ria. Tentunya, masih membahas seputar nilai Agam.
“Abang sejak dipukul, makin banyak bicara ya?”
Abang terkekeh. Dia tahu Agam sudah muak mendengar percakapan ini tapi mau bagaimana lagi, dia terlampau senang. Saat duduk berdua, Abang sering mendominasi percakapan berbanding terbalik dengan Agam yang menjawab sekadarnya. Kadang-kadang Agam cerita soal sekolahnya, tidak jauh dari kata Yanti dan Hanan. Abang pernah curiga mengenai pengakuan Agam yang sudah bertambah temannya. Karena selain Yanti dan Hanan, Abang tidak pernah mendengar nama lain yang disebut oleh Agam.
Tetapi, kecurigaan itu Abang pendam. Itu urusan dunia Agam. Jika memang Agam nyaman dengan dua teman dekat saja, maka Abang tidak akan memaksanya untuk mempunyai banyak teman.
“Hari ini tidak banyak pelanggan. Cukup untuk dua telur lagi. Tidak apa-apa ya?”
“Tidak apa-apa, Kapten.”
“Hahaha. Anak pintar.”
***
Untuk menghemat pengeluaran, Agam dan Abang memilih berjalan untuk pulang ke rumah. Mengingat kondisi kaki Abang, butuh waktu sekitar empat puluh menit. Namun tidak apa, saat berjalan pun, rasa lelah tidak terasa karena lagi-lagi ocehan Abang terus terdengar. Abang banyak tersenyum bahkan tertawa setelah pertengkaran hebat, antara Agam dan Abang kalau itu. Karena Agam rasa, Abang ingin menunjukkan ekspresinya, supaya tidak ada kesalahpahaman. Agam mensyukuri hal itu. Lewat tawa dan senyum Abang, dia tidak pernah lagi berpikir bahwa Abang membencinya.
Rumah sudah terlihat. Tetapi ada yang membuat Agam dan abangnya kebingungan. Ada orang asing di sana, di depan rumah mereka. Ada tiga orang, dua orang dewasa dan satu orang perempuan yang sepertinya sebaya dengan Abang. Kebingungan semakin bertambah ketika Monang tiba-tiba keluar dari rumah dan bercakap dengan orang-orang itu.
“Ha, itu dia!”
Abang sontak kaget karena ditunjuk tiba-tiba seperti itu dengan suara yang besar khas Monang. Ia melirik ke arah tamu yang tidak dikenal, mengingat mungkin saja ada kenalannya dulu, tetapi hasilnya nihil, dia masih tetap tidak mengenal tiga orang itu.
“Gas, mereka mau ketemu sama kamu.”
Bingung apa yang harus dilakukan, Abang spontan salam pada kedua orang tua tersebut. Melihat hal itu, Agam jadi ikut-ikutan. Perilaku itu membuat senyuman terbit dari mereka.
“Oh iya, ayo masuk dulu, Pak, Buk.” Bagas melirik perempuan sebayanya, sedikit bingung ingin menyebut ia apa.
“Dinda.” Tanpa diduga, ia memperkenalkan dirinya langsung.
“Dinda, ayo masuk.”