Bagi Wawan, Bapak hanya sebuah nama panggilan untuk guru di sekolahnya.
Setidaknya Rea bisa menganggap dirinya lebih beruntung. Saat ditinggal pergi Rea telah mengenal sosok Bapak walau hanya dengan sedikit kenangan. Tapi adik semata wayangnya, Wawan. Ditinggal pergi sejak usianya belum genap setahun. Tidak ada memori tentang Bapak di ingatannya, bahkan sebelum ditinggal pergi dia belum pandai mengucapkan kata Bapak. Miris kedengarannya.
Di saat anak lain membanggakan bapak mereka Wawan hanya mendengarkan pembicaraan mereka tanpa ekspresi. Entah benci atau iri yang Wawan rasakan, ia tidak pernah mengungkapkannya. Wawan tumbuh menjadi anak pendiam yang memendam perasaannya. Tapi yang pasti bagi Wawan orang tuanya hanya Ibu seorang. Tidak ada kata Bapak dalam hidupnya, sosok Bapak sudah mati dalam hidupnya. Sama seperti Rea.
Ketika berusia enam tahun sewaktu duduk di bangku sekolah dasar dengan riang gembira Wawan memanggil Ibu berulang kali, sepatu yang seharusnya dibuka saat memasuki rumah masih melekat di kaki. Mencari-cari Ibu di ruang tamu, kamar tidur hingga dapur. Rea yang mengikutinya dari belakang pusing mendengar suara besarnya yang begitu nyaring membisingkan telinga.
Rea dan Wawan satu sekolah jadi berangkat dan pulang sekolah selalu bersama. Ibu sengaja menyekolahkan mereka di sekolah yang sama agar mereka dapat saling menjaga.
Kebetulan saat itu sedang ada acara perayaan keagamaan yang diadakan di sekolah, semua siswa siswi diminta untuk hadir dengan berbusana muslim terbaik yang dimiliki, ada banyak perlombaan dan hiburan. Sebelum pulang Rea, Wawan dan beberapa siswa lainnya diminta untuk naik ke atas pentas untuk diberikan bingkisan dan sebuah amplop.
“Ada apa? kenapa ribut sekali,” sahut Ibu yang hendak memasuki rumah dari pintu samping.
“Ibu dari mana? Wawan cari-cari dari tadi,” dengan manja Wawan memeluk kaki ibu hingga ibu kesulitan melangkah.
“Dari tempat Pakde ambil Tempe. Wawan belum makan kan,” Ibu menunjukkan sepotong tempe yang masih berbalut daun pisang di tangannya.
Wawan menggelengkan kepalanya lalu memeluk kembali kaki ibu.
Rumah Rea dan Pakde memang bersebelahan. Pakde Atok, abang Ibu yang nomor dua. Pakde memiliki usaha pabrik Tahu dan Tempe. Pabrik yang cukup besar. Rea menjadikannya tempat permainan saat siang dan sore hari karena pabrik Tahu baru akan beroperasi saat malam hari jadi Tahu yang dipasarkan di pagi hari menjadi lebih segar dan tahan lama.
Bapak juga menjual Tahu dan Tempe menggunakan becak dayung setelah berhenti dari pekerjaan lamanya di Bandara Polonia.
Sesekali Rea akan membantu membuat Tempe, menggunakan cetakan dan daun pisang sebagai pembungkusnya. Biasanya setelah selesai membantu pakde akan memberikan uang saku sebagai gantinya.
“Ibu lihat.”
Wawan memberikan bingkisan dan amplop pada Ibu dengan penuh semangat. Ia menari kecil karena kegirangan.
“Apa ini? Dari mana?”
Ibu menatap Rea seolah bertanya siapa yang memberikan.
“Tadi diberikan di sekolah Bu. Rea juga dapat. Teman-teman yang lain juga ada yang dapat,” timpal Rea sambil menunjukkan bingkisan miliknya.
Ibu meletakkan tempe di meja dapur lalu berjalan menuju ruang tamu diikuti Rea dan Wawan. Perlahan Ibu membuka bingkisan yang terlihat cantik dengan kertas kado bergambar bunga-bunga. Isinya sehelai kain yang bisa dibuat menjadi sepotong baju. Wawan yang berdiri di depan Ibu mengambil kain dan mengalungkan ke lehernya, ia begitu senang hingga menggoyangkan badannya dengan riang.
“Cantik tidak Mbak?” tanya Wawan pada Rea sambil bergaya.
“Bukan cantik tapi ganteng. Wawan kan laki-laki,” Rea menowel pipi Wawan yang menggemaskan.