April 2001
Sepucuk surat datang dari Bapak.
Yang konon katanya tertuang dari isi hati yang terdalam. Memohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah meninggalkan Ibu, Rea dan Wawan begitu lama tanpa memberi kabar dan mengirim uang. Memberikan pembelaan karena jarak yang jauh dan terkadang kerja terkadang tidak menjadi alasannya.
Tersirat juga keinginan Bapak untuk dapat berkumpul bersama kembali.
Dalam surat Bapak juga mempertanyakan apakah Ibu, Rea dan Wawan mau menerima Bapak kembali karena selama ini Bapak telah melalaikan kewajibannya. Apabila diizinkan Bapak akan pulang dan berkumpul lagi dengan Ibu, Rea dan Wawan.
Dipenghujung suratnya Bapak meminta Rea membujuk Ibu untuk membalas surat tetapi Ibu tidak pernah membalas surat Bapak. Entah apa alasannya. Ibu tidak pernah bercerita dan Rea tidak pernah mempertanyakan. Sudah terlalu banyak air mata yang tumpah saat Rea bertanya mengenai Bapak pada Ibu.
Dan itu menjadi surat pertama dan terakhir dari Bapak, tidak ada lagi surat yang datang.
Entah apa maksud tersirat yang membuat Bapak menulis surat itu?
Kabar berita yang terakhir Rea dengar dari seorang kerabat jauh, Bapak sudah menikah lagi dan telah memiliki anak. Jadi untuk apa Bapak meminta izin pada Ibu untuk kembali jika bapak telah memilih untuk mendapatkan kebahagian dengan wanita lain.
Saat terakhir berjumpa dengan Bapak, Rea masih menggunakan seragam putih merah. Hingga kini Rea yang sudah mengenakan seragam putih abu-abu. Bapak tidak pernah pulang. Bukan karena Bapak lupa jalan untuk kembali pulang, Bapak hanya belum mendapat persetujuan untuk pulang.
“Rea. Bapak!” sahut Ibu yang tergesa-gesa menyenderkan sepeda di dinding rumah.
Rea yang sedang berada di ruang tamu menghentikan menulis pekerjaan rumah yang baru saja ia mulai. Matanya terbelalak menatap Ibu yang baru pulang entah dari mana. Bapak. Untuk kesekian kali kata itu sudah hampir lenyap dari pikirannya.
“Ada apa lagi denganya? Ibu dari mana saja? Ada tetangga yang nyariin tadi. Sudah gitu pake tanya segala Rea siapanya Ibu. Bikin orang sebel saja.”
Sofa Jepara menjadi tempat yang nyaman setelah dari tadi duduk di atas sadel sepeda. Mengatur nafas serta menyegarkan tenggorokan dengan es koteng milik Rea. “Salah kamu juga makanya bersosialisasi. Ini di rumah terus. Tetangga sini sampai gak tahu kalau Ibu punya anak perempuan satu. Yang mereka tahu anak Ibu cuma satu, Wawan.”
“Eemh!” Dari pada harus bersosialisasi, Rea lebih suka mengurung diri di kamar dengan buku komiknya. Sibuk dengan dunia khayalannya.
Setahun yang lalu setelah Ibu menerima warisan dari nenek, Ibu membeli rumah yang tidak jauh dari rumah yang pernah mereka tinggal dulu. Sebuah rumah kecil di gang kecil seukuran becak bermotor namun nyaman dengan tiga kamar tidur dan dapur yang lumayan besar untuk dapat menyalurkan hobi memasak Ibu. Rea berbagi kamar dengan Ibu di kamar yang paling besar yang berada di tengah-tengah sementara Wawan menguasai kamar paling depan yang sengaja ia cat dengan warna biru, warna kesukaannya.
“Terus kenapa lagi dia?”
“Dia? Bapak. Oh kelupaan,” sahut Ibu menepuk jidatnya pelan. “Nggak sopan panggil dia. Gitu-gitu Bapakmu Re walau kelakuannya tidak pantas untuk dikatakan sebagai seorang Bapak.”
“Bukannya sudah mati Bu.”
“Ngawur kamu.”
“Bukannya kita sudah sepakat.”
“Kapan?”
“Ada saksinya.”
“Siapa?”
“Kartu Tanda Penduduk.”
“Ngaco!”
“Kalau tidak percaya lihat saja. Ada kok tulisannya CERAI MATI.”
Ibu menelan ludah. “Itu karena Ibu pusing terus ditanyain pak RT. Suaminya mana bu ... kok tidak pernah kelihatan. Lusanya tanya lagi suaminya mana? Begitu seterusnya, bosan ditanya terus. Jadi ya CERAI MATI.”
Rea mengkerutkan bibir, mengejek Ibu. Memberikan isyarat jika perkataan Ibu hanya alasan di mulut semata.
Setelah tumbuh semakin dewasa, Rea semakin kritis. Impiannya bukan lagi untuk dapat berkumpul dengan Bapak atau menunggu kepulangan Bapak.
Rea lebih mengkwatirkan Ibu yang semakin bertambah usia. Tenaganya tidak lagi sama. Sudah terlalu sering Ibu mengeluh sakit pada kaki yang sering dia gunakan menayuh sepeda untuk pergi kesana kemari. Tujuan Rea satu. Segera menyelesaikan sekolah dan mencari pekerjaan. Di sekolah Rea juga mengurangi beban Ibu dengan tidak meminta uang saku, ia berjualan tas dan baju yang dimodali oleh Bude.