Dengan hati-hati Rea memegang kue yang telah disusun rapi dalam kotak di pangkuannya. mengambil posisi duduk yang nyaman di kursi penumpang becak bermotor. Mata Rea yang sayu menanti waktu untuk dipejamkan sejenak. Beberapa koyok sudah tertempel di lengan dan pundak Rea.
“Kelihatannya capek bener Re!” Bu Tati menyapa Rea dengan ramah. Membantu Rea menyusun kue di atas meja.
“Banget! Nanti pulang mau langsung istirahat Bu.” Rea mengangkat kedua tangannya, merenggangkan otot yang kaku.
“Rea rajin ya … mau bantu ibunya. Manda anak gadisku kalau disuruh bantuin jawabnya nantilah … capeklah … nggak bisa diharap,” curhat Bu Tati pada Ibu.
“Itu juga tadi malesan. Bisa-bisanya rambut ketarik ke mixer. Sudah dibilang rambutnya diikat tapi tidak mau dengerin, sudah tahu rambutnya panjang. Sampai adonannya kebuang dan terpaksa harus buat ulang.”
Bibir Rea manyun mendengar ocehan Ibu. Bukannya memuji Rea yang sudah membantu mala menjatuhkan reputasinya.
Belum pernah Rea mendengar Ibu memuji dirinya secara langsung. Bukan karena haus akan fujian. Setidaknya saat mendengar orang tua menyanjung anaknya akan ada kesenangan batin tersendiri yang tidak dapat diungkap kata. Perasaan bangga, seperti tengah mengangkat trofi kemenangan.
Itu sering terjadi saat kenaikan kelas. Prestasi Rea di sekolah bisa dibilang cukup membanggakan setidaknya Rea selalu masuk peringkat lima besar tetapi Ibu tidak pernah memberikan apresiasi. Justru sebaliknya disaat menurun Rea terus menerus mendapat ceramah yang tidak ada habisnya.
Begitulah Ibu.
Tapi bukan berarti Ibu tidak pernah membanggakan anaknya. Ibu mana yang bisa menahan diri untuk tidak membanggakan anaknya. Hanya saja Ibu punya cara tersendiri. Seperti halnya kejadian sebelum Ibu meminta Rea untuk membantunya mengantar kue ke rumah Bu Tati, tidak sengaja Rea mendengar obrolan Ibu dengan tetangga sebelah rumah.
“Mau kemana Bu?” sapa Ibu tetangga sebelah rumah.
“Ke depan. Mau panggil Becak motor untuk ngantar kue ke rumah Bu Tati.”
“Pakai sepeda motor saya saja Bu.”
“Pasti nanti harus bolak balik, kasihan Rea kelihatannya sudah kecapekan. Habis pulang sekolah langsung bantuin saya sampai lupa makan siang.”
“Rea rajin ya.”
“Saya bersyukur. Dari dulu Rea sudah bantuin saya kerja.”
Rea yang serius mendengarkan dari dalam rumah hanya bisa tersenyum dengan penuh haru.
Rea kembali teringat kejadian lucu, sebuah kenangan manis masa lalu. Tapi dari situ pula Rea mengetahui bahwa Ibu sangat peduli terhadapnya yang sebelumnya Rea selalu merasa Ibu pilih kasih terhadap anaknya. Selalu Rea yang menjadi nomor dua dan Wawan prioritasnya hingga menumbuhkan cemburu yang bersarang di hati.
Saat itu, Rea yang masih berumur sembilan tahun merengek di pojok tempat tidur. Rambut acak-acakan dan mata sembab karena merasa di perlakukan tidak adil oleh Ibu. Apa yang Rea pinta tidak dipenuhi oleh Ibu. Semetara Wawan apa yang dia minta selalu dituruti. Atau Rea harus berguling di lantai seperti Wawan agar permintaan Rea dipenuhi. Sempat terbesit di benak mungkin Rea bukanlah anak kandung Ibu hingga Rea diperlakukan seperti ini.
Guling kesayangan yang tak berbentuk dan sudah gadel menjadi tempat sandaran nyaman saat mulut Rea terus berkomat kamit tanpa henti, memprotes tindakan Ibu. Mengeluarkan unek-unek dalam hati yang lama terpendam. Ini saat yang tepat bisik Rea dalam hati.
Seakan tidak berarti, Ibu tidak merespon justru dengan asyiknya memijat secara bergantian dengan temannya yang sesama janda yang ditinggal pergi suami. Mereka begitu serasi sama-sama saling mengerti satu sama lain karena pernah disakiti lelaki. Protes Rea tidak ditanggapi. Tidak menghiraukan Rea sama sekali. Membuatnya semakin diabaikan dan sakit hati.
Setelah kejadian itu Rea tidak ingat apa-apa lagi. Paginya mata Rea sulit terbuka. Sembab dengan tahi mata yang menumpuk, Rea terlalu banyak menangis. Tanpa sengaja sayup-sayup Rea dengar perbincangan Ibu dengan sahabat sejatinya, Bu Sri.