Hari minggu waktunya beristirahat atau kumpul bersama sahabat menuntaskan rindu yang terhalang jarak dan waktu. Rea sering menghabiskan waktu sehari berharganya bersama Niena sahabat sekaligus sepupunya. Bagi Rea yang tidak suka bergaul dan lebih suka menyendiri memiliki seorang saja sahabat sudah lebih dari cukup.
Pekerjaan rumah yang menumpuk sudah menjerit untuk segera diselesaikan membuat Niena tidak bisa meluangkan waktunya untuk sekedar jalan bersama Rea, yang biasa sering mereka lakukan di hari minggu. Walau hanya sekedar jalan menikmati pemandangan papan diskon menggiurkan yang berjejer rapi di setiap etalase di Mall tapi tetap tidak bisa membeli karena harganya masih cukup tinggi, makan bakso pinggir jalan yang rasanya bagai restoran bintang lima dan ditutup dengan Ice Cream puding alpukat yang sayang untuk dilewatkan.
Berganti menu, kali ini Rea makan sate usus bumbu padang lengkap dengan minuman somboi kesturi yang diolah sendiri oleh penjual yang infonya jeruk kesturi dari kebun sendiri. Sate yang pas di lidah dan harga pas di kantong.
Dengan lokasi yang sempit yang terletak di depan pintu masuk pasar. Gerobak sate dengan beberapa kursi dan meja berjejer rapi yang sering kali tidak dapat menampung peminat sate yang cukup banyak hingga terpaksa harus mengantri.
Dengan sengaja Rea menyendokkan sedikit demi sedikit kuah sate ke mulutnya walaupun perut sudah menahan lapar yang mengakibatnya jadi keroncongan. Menurut pengalaman yang sudah-sudah saat sate sudah tidak lagi bersisa di piring berarti sudah saatnya untuk diusir dari tempat duduk. Bergantian dengan pengunjung lain yang sudah sabar mengantri.
“Bang tambah kuahnya,” sahut Rea menyodorkan piring yang kuahnya sudah kering.
“Satenya masih utuh. Doyan ya makan kuahnya,” jawab abang sate seolah mengejek Rea.
“Kuahnya enak. Kalau ada nominasi sate terenak pasti saya duluan yang vote sate milik abang. Satenya juara,” fuji Rea memberikan dua jempol mengharapkan bisa dapat kuah sate yang lebih banyak.
“Ya udah ini saya banyakin kuahnya.”
“Terima kasih bang …”
Harapan Rea terpenuhi dan ia membalasnya dengan tersenyum manis yang tidak berlangsung lama. Seorang wanita paruh baya dengan dua kantong besar plastik belanjaan di tangan yang berdiri tepat disamping Rea menatap dengan sinis.
Dengan cepat Rea mengalihkan pandangannya. Sepertinya Wanita itu mengincar tempat duduk Rea.
“Masih lama,” sahut wanita itu dengan ketus.
Rea tidak bergeming melanjutkan menikmati kuah sate yang lezat ditambah satu potong usus dan mengunyahnya perlahan.
“Dek … Dek! Masih lama?” sahut wanita itu kembali sambil menepuk pundak Rea.
Rea menunjukan sate miliknya. “Masih banyak Bu.”
“Bisa cepetan dikit makannya.”
“Nanti keselek Bu,” ucap Rea dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Tangan saya sudah pegal dan perut sudah lapar.”
“Sama Bu … saya juga lapar. Bapak di sudut sana sudah selesai. Ibu bisa duduk di sana,” Rea menunjuk seorang bapak berkaos merah dengan tulisan di punggungnya INI MEDAN BUNG! hendak beranjak dari duduknya.
“Saya mau duduk di sini saja.” Wanita itu menunjuk bangku yang diduduki oleh Rea.
Rea mengeryitkan alisnya. Mengingat kembali perjuangan tadi untuk dapat duduk di dekat abang tukang sate. Rea harus berdiri menjaga keseimbangan melawan saling sikut dengan orang-orang yang berjalan masuk dan yang berjalan keluar pasar.
Hari ini pasar sedang ramai padat merayap. Begitu pemandangan yang selalu Rea alami jika berkunjung di setiap hari minggu. Sesuai dengan namanya Pasar Rame. Pasar yang terletak di tengah kota Medan ini tidak pernah sepi pengunjung.
Bangku di dekat abang tukang sate selalu menjadi tempat primadona karena merupakan tempat yang efisien untuk dapat meminta tambahan kuah sate tanpa harus beranjak dari tempat duduk.
Dengan berat hati wanita paruh baya menggantikan posisi duduk bapak kaos berbaju merah. Akhirnya Rea berhasil mempertahankan tempat duduknya. Tapi tidak bertahan lama. Setelah meminta dua kali tambahan kuah dan karena duduk terlalu lama akhirnya Rea diusir juga.