Bunyi mesin printer masih terdengar, mencetak invoice penjualan beradu dengan bunyi klakson kendaraan yang tidak sabar mengantri di jalanan komplek yang tidak terlalu besar. Bukan hanya tubuh Rea yang terasa begitu lelah, matanya juga sudah berair dan memerah. Seharian Rea duduk di depan komputer memproses orderan yang masuk cukup banyak, ia bahkan melewatkan makan siangnya. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul lima sore, waktunya untuk pulang. Satu demi satu karyawan meningggalkan kantor untuk bertemu keluarga yang menanti di rumah dan Rea orang terakhir yang meninggalkan kantor.
“Mau langsung pulang?” tanya Lia teman sekantor Rea yang masih berdiri di depan pintu kantor.
“Iya,” jawab Rea singkat. Tangannya sibuk bekerja merapikan kertas-kertas yang masih berserakan di atas meja.
“Warkop yuk! Nyantai bentar.”
Rea berpikir sejenak, “Sebentar saja ya, takut nanti tidak kedapatan angkot kalau sudah kemalaman.”
Lia mengacungkan jempolnya.
Warkop alias warung kopi yang tidak jauh dari kantor menjadi tempat yang tepat untuk rehat sejenak. Lokasinya tidak jauh dari kantor, cukup berjalan kaki kurang lebih 5 menit. Rea dan Lia sering menghabiskan waktu istirahat sambil mengobrol di sana di kala waktu makan siang.
Semua meja terisi penuh. Rata-rata karyawan yang baru pulang bekerja dan juga mahasiswa yang lebih didominasi oleh kaum pria. Rea dan Lia duduk di bagian depan menghadap jalan raya di ruangan terbuka menghindari asap rokok yang berterbangan liar.
Lia mengangkat kakinya di atas bangku panjang. Selonjoran kaki merengganggakan otot yang tegang akibat duduk seharian. Banyaknya orderan masuk hari ini benar-benar menyiksa.
“Sudah seperti warkop sendiri saja ya Li.”
“Mumpung di depan sini sepi. Lumayan untuk menghilangkan pegal. Relaksasi.”
“Kerjaan kamu banyak juga tadi Li.”
“Banget! Jari-jari tanganku kram dan kaki tegang,” Lia menunjukkan kesepuluh jari tangannya.
Pekerjaan Lia sebenarnya santai, hanya menginput orderan yang masuk dari para Sales yang bertugas keluar kota. Tapi ia dituntut untuk selalu teliti agar tidak terjadi kesalahan. Pernah kejadian di saat penjualan membeludak, Lia salah memasukkan data pengiriman yang berujung Lia harus mengganti ongkos kirim barang yang salah terkirim.
“Pesan apa Mbak?” tanya pemilik warkop yang juga bertugas mencatat pesanan yang tanpa buku menu.
“Kamu apa Li?”
“Biasa.”
“Bangladesh dua, jeruk dua.”
Sang pemilik warkop mengacungkan jempol lalu menulis pesanan dan berlalu pergi mencatat pesanan ke meja yang lain.
Hanya ada satu menu makanan yang ditawarkan. Mie. Tinggal memilih berkuah atau 'nyemek' (sedikit kuah) yang dikenal dengan nama Mie Bangladesh, bukan mie yang berasal negara yang berbatasan dengan India dan Myanmar. Menurut kabar yang berhembus dinamakan demikian karena si pembuat bernama Lades yang berasal dari Aceh. Berhubung di Medan menyapa lelaki yang lebih tua dengan sebutan Abang. Maka terciptalah sebuah nama ‘Bang - Ladesh’. Dibuat dari Mie Instan yang dimasak dengan telur dan sayuran serta tambahan bumbu rahasia yang menjadikannya istimewa berbeda dari mie yang biasa dimasak sendiri di rumah. Tidak lupa sentuhan terakhir dan tidak boleh dilewatkan, bawang goreng yang harumnya menggoda.
Rata-rata pengunjung memesan Mie Bangladesh ketimbang mie kuah, tidak terkecuali Rea dan Lia. Selain bumbunya lebih berasa aromanya menghipnotis, membuat yang tidak lapar menjadi lapar sekali kedipan mata dan jus jerus peras segar lah yang menjadi teman yang pas untuk dipadukan.
“Aku dengar kamu dijodohkan ya Re.”
“Jangan dibahas. Malas!”
“Kenapa? Kurang ganteng? Atau kurang seksi atau kurang Oppa?”