SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #8

Trauma

Akhirnya yang Rea tunggu datang. Bukan pangeran berkuda putih melainkan kepulangan Ibu dari rumah sakit.

Ibu yang sebelumnya mempunyai riwayat Darah Tinggi yang diturunkan oleh Nenek, di diagnosis Stoke Ringan hingga Kolestrol yang menyebabkan kaki kanan Ibu susah untuk digerakkan. Harus berjalan tertatih. Sesekali Ibu kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh padahal sebelum masuk rumah sakit Ibu dapat berjalan dengan normal. Tubuh Ibu yang berisi perlahan mulai menyusut, baju kesukaan yang Ibu sering pakai di keseharian menjadi longgar. Melihat kondisi Ibu membuat Rea menyalahkan diri sendiri.

Andai waktu itu Rea memiliki keberanian menolak Ibu dibawa ke Rumah Sakit.

Kejadian tempo hari ketika Ibu kejang, juga membuat Rea trauma dengan Rumah Sakit.

Setelah pulang dari rumah sakit Ibu tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan sementara waktu harus menetap di rumah Bude Inez. Sudah menjadi kesepakatan keluarga besar Ibu, untuk sementara waktu Ibu akan tinggal di sana. Setidaknya ada yang menjaga dan memperhatikan Ibu di saat Rea pergi bekerja. Walaupun itu bukan yang Rea harapan.

Harus ada sedikit pengorbanan. Rea harus menjalankan siklus yang panjang. Pergi bekerja lalu pulang ke rumah, pergi ke rumah Bude Inez dan besok pagi kembali ke rumah untuk mandi, kembali pergi bekerja lalu pulang dan kembali lagi ke rumah Bude Inez. Begitulah siklus yang belum dijalankan saja sudah merasa melelahkan.

Rutinitas yang harus Rea lewati tidak bisa untuk dihindari. Badan lelah. Ditambah dengan beban pikiran soal pekerjaan yang sedang tidak baik-baik saja tapi tidak ada yang mau mengerti, semua berfokus pada kesehatan Ibu tanpa melihat pada Rea. Walau begitu Rea berusaha keras berkompromi pada diri sendiri. Melawan ego. Menjalani dengan pikiran yang positif.

Saat sampai di rumah Bude Inez Rea tidak langsung masuk. Kursi santai yang sengaja di letakkan di teras depan rumah Bude Inez terasa nyaman, membuang lelah sambil merenung sejenak. Wajah Rea terlihat kusam karena belum sempat mandi, murung tiada gairah bahkan hanya sekedar senyum tipis pun tiada.

“Ibu kira belum datang,” sahut Ibu berjalan perlahan sambil memegang daun pintu. Ternyata sedari tadi Ibu sudah menunggu kedatangan Rea di ruang tamu.

“Baru sampai Bu. Lembuar jadi pulangnya tadi agak telat, di kantor sedang banyak pekerjaan,” sahut Rea sambil memainkan gelang tangan benang merah dengan hiasan batu giok.

“Besok kita pulang ya. Ibu kangen sama rumah.”

“Rumah kok di kangeni,” seloroh Rea “Terus Pakde gimana? Nanti tidak diizinkan. Ibu kan tahu Pakde orangnya bagaimana.”

Rea membantu Ibu untuk duduk di kursi di sampingnya.

“Nanti Ibu yang bilang.”

Rea mengangguk kesenangan.

Lihat selengkapnya