SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #9

Arisan

Sekali seminggu dalam dua bulan terakhir, mengarungi perjalanan jauh yang tidak mulus membuat Ibu kelelahan. Belakangan Ibu sering mengeluh punggungnya sering sakit karena duduk di atas motor terlalu lama. Mengkonsumsi obat herbal juga tidak ada perubahan, yang ada nafsu makannya jadi berkurang.

Wawan yang seusai senyelesaikan pendidikannya, lebih memilih bekerja daripada melanjut pendidikan di bangku kuliah. Wawan berhasil diterima di restoran cepat saji sebagai karyawan kontrak. Membuat Wawan tidak dapat lagi mengantar Ibu pergi berobat.

Setelah berembuk akhirnya Ibu memutuskan untuk tidak melanjutkan perobatan. Dan pelan-pelan mencari pengobatan lain.

“Ini uang belanja untuk makan Ibu sebulan Bude,” Rea menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu pada Bude Inez yang datang berkunjung.

“Hari ini kamu ikut arisan Re?” tanya Bude Inez yang sedang memindahkan makanan Ibu dari rantang ke piring.

“Hari ini Rea ada janji mau ke rumah teman kerja yang baru selesai lahiran dan nanti kalau sempat Rea singgah ke sana. Memangnya arisan hari ini di rumah siapa Bude?” Rea mengambil sapu yang ia simpan di balik pintu depan untuk memulai membersihkan rumah yang berantakan.

“Di rumah Om Wandi. Ibu kamu nanti ikut sama Bude saja naik mobil Pakde.”

Setiap sebulan sekali keluarga besar Ibu mengadakan arisan keluarga yang tujuannya hanya satu, agar tidak memutus Tali Silaturahmi dalam keluarga. Tali silaturahmi itu sangat penting karena dapat mempererat hubungan persaudaraan, membuat yang jauh jadi dekat dan membuat yang tidak tahu jadi tahu. Tidak ada kegiatan khusus lainnya. Berkumpul bersama disela hari libur, bersendagurau sambil menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh tuan rumah yang mendapat giliran.

Setiap acara kumpul keluarga pasti ada pertanyaan menakutkan yang menciutkan mental bagi yang belum punya pasangan yang lebih keren disebut jomblowan dan jomblowati yang sudah sepatutnya untuk dihindari dengan cara duduk di pojokan sambil ngemil kuaci.

Pacarnya mana, nggak dibawa? Kenalin dong sama keluarga.

Si anu … sudah punya pacar. Kamu kapan? Masih betah jomblo.

Mau tante jodohkan?

Tapi tenang. Rea tidak akan pernah mendapatkan pertanyaan itu. Alasan Ibu yang sedang sakit membuat keluarga besar tidak mempertanyakannya. Tapi bukan berarti Rea tidak mendapatkan pertanyaan yang membuat penyakit migrannya kambuh, pertanyaan yang sama dan selalu berulang.

Selesai menyalim keluarga yang lebih tua satu persatu, Rea langsung mengincar posisi duduk paling pojok. Satu kursi kosong yang nyempil di samping pohon mangga lengkap dengan dua bocah yang berisik berebut siapa yang tercepat. Satu nangkring di atas pohon mangga yang tidak terlalu tinggi dan satunya duduk dengan menaikkan kedua kaki di kursi, tidak memperdulikan orang disekitar seakan dunia milik mereka berdua.

Tidak menemukan kuaci, kue klepon mini yang disusun rapi di atas daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkok pun jadi pilihan dan segelas es cendol menjadi penyegar dahaga. Makanan hidangan kali ini temanya Hijau, mungkin agar menyatu dengan alam.

“Eh Rea … baru kelihatan. Dari mana saja baru kelihatan?”

“Dari rumah teman kantor, Tante Leli,” jawab Rea yang hendak melahap kue klepon namun tidak jadi.

“Terus … gimana?” Tante Leli mengusir bocah yang duduk santai dengan Gameboy bermain tetris di depan Rea.

“Iih Tante lagi seru nih,” protes bocah yang nangkrik di atas pohon mangga. Tidak terima temannya menjadi korban pengusiran.

“Eh ada satu lagi di pohon. Turun … turun. Halo anak siapa ini nangkrik di atas pohon nanti jatuh,” Tante Leli menarik tangan bocah yang nangkrik di atas pohon untuk turun.

“Tante ganggu saja.”

“Dasar anak kecil, main di sana saja sana …”

Sambil menggerutu kedua bocah akhirnya pergi. Bergabung bersama bocah lain yang sedang ngumpul di depan becak abang penjual mainan lengkap dengan balon udara beragam bentuk, yang selalu siap sedia jika ada yang mengadakan hajatan.

“Gimana?” Tante Leli mengambil kursi dan meletakkan di samping Rea lalu duduk dengan anggun sambil menyibakkan rambut ke belakang telinga.

“Gimana? Maksudnya Tante?” tanya Rea menutupi rasa juteknya karena gagal lagi melahap kue klepon. Padahal ia sudah membayangkan rasa gurih dan manisnya.

“Gimana Bapak kamu? Ia sudah tahu Ibu sakit?”

Sesuai dugaan. Satu orang yang bertanya soal Bapak. Bagi Rea bertanya soal Bapak sama saja bertanya soal gebetan. Mau tidak dijawab takutnya bakal dibilang tidak sopan.

“Bapak tahu. Rea sudah beritahu ke Bapak.”

Lihat selengkapnya