Walau raga berada di rumah tapi pikiran masih ngantor. Ponsel yang terus berbunyi mengisyaratkan ada pesan masuk, sepanjang hari sampai habisnya masa cuti yang menyisakan satu hari. Ekspektasinya istirahat menjernihkan pikiran, nyatanya memumetkan pikiran. Rea harus bolak balik menkordinasi pemesanan dengan Lia yang juga sibuk sendiri di kantor karena tugasnya bertambah, sesekali Lia merengek memohon agar Rea menyegerakan cutinya.
List drama Korea dan Jepang yang sengaja Rea susun untuk di tonton menjadi percuma, menjadi lembar coretan Rea menghitung hari di dinding kamarnya. Tidak ada waktu untuk merealisasikannya padahal Rea sengaja minum kopi demi bisa ngebut nonton di malam hari tapi terkalahkan dengan kantuk yang tidak bisa diajak kompromi. Pagi menemani Ibu berjalan kaki, setelah itu Stand By dengan ponsel di tangan sampai sore hari menjelang. Jeda untuk tidur siang pun tidak ada. Rutinitas yang biasa Rea lakukan di kantor tetapi mengapa berbeda disaat berada di rumah.
Rea duduk di depan kipas angin untuk mengeringkan rambutnya dengan ponsel di pangguan, bajunya basah oleh air yang masih menetes. Dengan tangan Rea merapikan rambut sebagai pengganti sisir yang hilang tanpa jejak jika lagi dibutuhkan.
Disela-sela pesan masuk dari pelanggan, nyempil sebuah pesan dari Bapak.
Bapak : Rea di mana? Kerja hari ini?
Rea : Di rumah Pak, dikasih cuti sama atasan.
Bapak : Sebentar lagi Bapak sampai di stasiun Kereta Api. Bisa jemput Bapak?
Jantung Rea berdebar kencang tidak beraturan. Bapak yang sudah sangat lama tidak berjumpa dengan tiba-tiba mengonfirmasi kedatangannya. Apa yang harus Rea lakukan nanti atau apa yang akan Rea obrolkan nanti. Selama ini Rea hanya mendengar suaranya yang berat namun lembut melalui telepon tanpa wujud.
Lama Rea mengetik pesan yang jawabannya sudah ada di kepala.
Rea : Bisa Pak.
Kebetulan hari ini jadwal Wawan libur, ia punya jatah libur sehari dalam seminggu. Beruntung, seperti sudah suratan untuk ditakdirkan bertemu. Selama ini Wawan selalu menolak jika Bapak mengajaknya berbicara di telepon, ia akan menyodorkan kembali telepon yang Rea berikan. Hati Wawan belum melunak memberikan maaf untuk Bapak.
Rea mengetuk kamar Wawan yang terkunci rapat. Di balik pintu Wawan sedang mendengarkan musik dari radio dengan Volume tidak biasa, bisa memekakkan telinga. Lama Rea menunggu tidak ada respon membuatnya naik pitam dan terpaksa bertindak bar-bar, ia menggedor pintu kamar Wawan tanpa henti sampai niatnya terpenuhi.
“Apa sih Mbak? Ganggu saja,” Wawan keluar dari kamar hanya kepalanya saja.
“Jemput Bapak di stasiun,” teriak Rea karena Wawan belum mengecilkan radio.
“Ah?” sahut Wawan yang tidak mendengar ucapan Rea.
“Jem-put Ba-pak.” Rea berbicara dengan lamban.
“Ah? Nggak kedengaran,” Wawan meletakkan tangannya di belakang telinga agar bisa mendengar ucapan Rea.
Rea menjewer telinga Wawan dan menariknya lebih dekat. “Jemput Bapak,” teriak Rea di telinga Wawan.
“Budeg deh nih telinga,” ucap Wawan sambil mengelus-elus telinganya.
“Oh nyetel suara radio kuat-kuat nggak bikin budeg? Istirahat Ibu juga keganggu tuh karena ngedengerin suara radio rusak itu. Cepat matikan.”