SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #13

Kasmaran

Sofa Jepara dengan warna merah Maroon menjadi saksi bisu kegelisahan Ibu menunggu kedatangan Bapak. Bolak balik antara kursi dan pintu depan rumah. Menit yang berlalu terasa begitu lama. Sambil menunggu Ibu mengganti baju yang lusuh lembab oleh keringat dengan yang baru di setrika dan diberi pewangi. Ibu ingin tampil sempurna.

Bunyi lantang knalpot sepeda motor Wawan terdengar dari kejauhan. Ibu yang sudah hafal segera bangkit dari duduknya menyambut kedatangan Bapak. Bagaikan sihir, dengan ajaibnya kaki Ibu yang terasa berat seketika rontok demi melampiaskan rindu yang membara. Dengan mata berkaca dan bibir bergetar Ibu menghampiri kekasih yang telah lama raib yang mendadak muncul kembali di hadapan mata.

Rea yang berdiri di depan pintu dengan barang bawaan Bapak di tangan tercengang melihat perubahan Ibu, begitu juga dengan Wawan. Ia sampai membuka mulutnya lebar sembari mengerlingkan mata pada Rea.

Bak gayung bersambut, Bapak menyambut Ibu dengan pelukan hangat. Tangis Ibu pecah, air mata jatuh berurai. Menyisihkan Rea dan Wawan yang diam terpaku dengan masih dengan keterkejutannya sambil memandang haru serta canggung kelakuan kedua orang tua mereka. Pemandangan yang baru pertama kali mereka saksikan, keharmonisan keluarga yang di damba.

 

Duduk berdampingan tidak mau lekang dengan mata yang terus saling pandang. Sudah lewat dari sepuluh menit tidak ada pembicaraan berarti antara Bapak dan Ibu, hanya saling bertanya kabar masing-masing seperti dua orang sejoli yang sedang kasmaran bertemu kembali setelah jeda yang panjang. Rea yang duduk dihadapkan Bapak dan Ibu ingin lekas menghindari situasi yang membosankan itu, mengapa ponsel yang tadinya berising dengan gemerincing pesan masuk tiba-tiba sepi.

“Itu buah yang di bawakan Bapak, Bu. Mau Rea potongkan?” Rea mencari alasan untuk berlalu dari situasi canggung. Harusnya ia mengikuti jejak Wawan yang segera menghilang mengurung diri di kamar.

“Nanti saja. Ibu masih kenyang.”

Rea memutar otak memikirkan cara agar dapat segera kabur hingga ia teringat dengan album foto pernikahan tempo hari. Ini momen yang tepat untuk bertanya pada Bapak. Rea mengatur napas mengambil aba-aba untuk memulai perbincangan namun entah mengapa kata yang sudah tersusun rapi di kepala begitu sulit untuk di ucapkan tertahan di ujung lidah.

“Belikan Bapak bolu gulung dan Bika Ambon, Re.” Bapak mengeluarkan dompet yang ia letak di dalam tas dan memberikan uang pada Rea.

Mungkin Bapak sengaja meminta Rea membelikan bolu gulung agar ada ruang pribadi antara Bapak dan Ibu. Ingin melepas rindu atau mengobrol yang hanya boleh mereka berdua yang tahu.

“Mau beli berapa kotak?”

“Kurang?”

“Ini sih kebanyakan Pak.”

“Empat kotak. Dua kotak nanti mau Bapak bawa pulang. Bika Ambonnya satu kotak saja.”

Mendengar Bapak menyinggung soal ‘pulang’ ekspresi Ibu berubah menjadi murung, kesedihan menyelimuti wajah Ibu. Semangat yang Rea saksikan tadi perlahan luntur. Tapi apa daya Rea yang tidak punya kuasa, tidak bisa berbuat apa-apa.

“Bolu gulungnya mau rasa apa? Ada mocca, nanas, keju. Mau Topping apa? Ada coklat dan keju. Mau yang mana?” Rea menjelaskan seperti sales yang senang menjelaskan barang dagangannya.

“Beli yang menurut Rea enak saja.”

 

Bersama Wawan, Rea pergi memenuhi permintaan Bapak. Meninggalkan Bapak dan Ibu berduaan di rumah melepas rindu. Sementara Fadil yang berjasa telah membantu menjemput Bapak dengan terpaksa dipulangkan dengan tidak mengurangi rasa hormat pada tamu yang telah datang berkunjung.

“Ngapai sih dia datang?” Wawan memulai berbincangan di atas sepeda motor.

“Ya rindu mungkin. Kan sudah lama nggak ketemu. Emangnya kamu nggak rindu Wan?”

“Tidak akan ada kata rindu untuk dia. Makan tuh rindu,” jawab Wawan dengan ketus. Ia menambah kecepatan sepeda motor sesaat lalu menurunkannya kembali setelah Rea menepuk pundaknya.

“Kok gitu ngomongnya.”

“Nggak ingat apa kelakuannya sama kita. Kalau rindu harusnya nggak pernah pergi dulu. Sekarang saja bilangnya rindu dulu nggak peduli.”

“Kan sudah masa lalu.”

“Masa lalu yang membuat Ibu menjadi seperti sekarang ini. Terbelenggu pada sakitnya,” jawab Wawan menggebu-gebu. Orang yang sedikit bicara sekali bicara nyelekit. Jika bersama Rea lah Wawan dapat mencurahkan isi hatinya. Selama ini jika ada yang bertanya atau membahas tentang Bapak, Wawan akan menjawab dengan singkat ‘Bapak sudah mati’. Rasa-rasa sakit hatinya sudah kronis hingga kata 'Maaf' adalah hal yang mustahil baginya.

Lihat selengkapnya