Hawa dingin menusuk tulang saat Rea menemani Ibu pergi berobat. Matahari masih malu-malu untuk mempertunjukkan sinarnya. Dengan menggunakan baju yang sama dengan yang Rea kenakan untuk tidur tadi malam, sweater katun dengan gambar hati di dada yang merupakan pemberian teman sekantornya sebagai hadiah ulang tahun. Air yang dingin mengurungkan niat Rea untuk mandi, kebetulan gas di rumah sedang habis. Sekedar untuk membuat teh manis hangat saja tidak bisa apalagi memasak air panas untuk mandi. Hanya cuci muka dan gosok gigi adalah pilihan terakhir untuk membersihkan diri.
Embun pagi masih tersisa di bangku pajang. Meninggalkan bekas di celana saat Rea duduk sesaat.
“Duduk di sini saja Bu,” Rea menunjuk tempat yang sudah kering dari embun yang telah menempel di celananya.
Ibu berjalan perlahan lalu duduk dengan hati-hati dan dengan sigap Rea memberikan tangannya sebagai penopang pegangan Ibu. Sebenarnya baru tiga hari lagi jadwal Ibu untuk berobat tapi karena Ibu mengeluh kakinya sakit terpaksa Rea memajukan jadwal. Pak Eril yang diberitahukan mendadak juga harus bangun lebih awal, alhasil selesai mengantar ia tertidur pulas di atas becaknya sembari menutup tubuh menghindari hawa dingin dengan jaket.
Malam tadi Rea yang tidak bisa tidur karena badan terasa begitu berat, pegal tak beraturan seperti habis tertimpa balok kayu besar atau mungkin karena Rea kurang asupan nutrisi dan vitamin. Maklum saja, hidupnya jauh dari kata sayur mayur. Saat merebahkan badan sejenak sambil menutup mata hingga membuat Rea hampir terlelap, terbuai dengan angin sepoi dari kipas angin untuk menghindari nyamuk yang sengaja Rea setel di nomor dua menghadap dinding supaya tidak masuk angin nantinya. Sayup-sayup terdengar rintingan dengan suara yang kecil, tangis pilu. Hampir tidak terdengar membikin bulu kuduk Rea merinding disko. Jiwa penakutnya meronta-ronta. Dengan sambil melantunkan doa Rea bersembunyi di bawah selimut. Suara rintihan yang menyedihkan itu tetap tidak menghilang. Jika didengar lebih jelas suaranya berasal dari kamar Ibu yang tepat berada di sebelah kamar Rea.
Mengatur napas. Hirup-hempaskan-hirup-hempaskan. Rea mengumpulkan keberaniannya. Memberanikan diri Rea keluar kamar meraba dinding mencari saklar untuk menghidupkan lampu yang selalu dimatikan jika malam hari. Berjalan selangkah demi selangkah tanpa suara menuju kamar Ibu. Rea mengintip melalui sela-sela pintu yang bagian atas tertutupi ram kawat dan kain pintu yang Ibu jahit sendiri. Karena keterbatasan pandangan, samar-samar Rea melihat Ibu terduduk sembari menghusap-usap mata.
“Ibu kenapa?” Rea masuk ke kamar Ibu yang tidak pernah terkunci.
“Rea! kenapa bangun. Maaf sudah mengganggu tidur kamu. Masih kedengaran juga ternyata.”
“Nggak kok Bu, tadi Rea belum tidur terus denger suara seperti tangisan. Sudah mikir negatif saja tadi. Rea pikir.”
“Kuntilanak,” Ibu memotong pembicaraan Rea.
Rea tersenyum malu menampakkan giginya yang tidak rapi.
“Ibu kenapa? Apa ada yang sakit?”
Bola mata ibu bergerak liar sebelum menatap Rea dalam. Pupil matanya bergoyang-goyang dengan air mata yang tertahan menolak tumpah. “Kaki Ibu sakit sekali,” jawab Ibu dengan memijat-mijat kakinya.
Rea mengambil bangku di sudut pintu, di samping sepeda Ibu yang sudah tidak terpakai lagi yang sekarang menjadi pajangan antik penuh kenangan. Rea lalu duduk di hadapan Ibu sambil meletakkan kaki Ibu di pangkuannya kemudian memijitnya perlahan. Ibu tertunduk diam. Ada yang menjanggal dari sikap Ibu, sepertinya ada sesuatu yang Ibu sembunyikan selain kakinya yang sakit.
“Besok kita berobat ke spesialis Saraf ya … Dokternya bagus. Dengarnya banyak yang sakit stroke sembuh setelah berobat di sana. Dudi kan juga berobat di sana,” ucap Rea untuk menenangkan hati Ibu.
“Bukannya ke spesialis saraf mahal.”
“Mahal sudah pasti tapi kan belum pernah dicoba jadi belum tahu seberapa mahal. Lagian kalau Ibu bisa sembuh di sana kenapa tidak. Jangan terlalu dipikirkan, rezeki siapa yang tahu. Mana tahu nantinya Allah memberikan Rea rezeki lebih agar Ibu bisa terus berobat di sana.”