SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #15

Setrum listrik

Hujan turun mendadak tanpa memberi aba-aba membuat Rea membatalkan niatnya untuk menyambangi warung nasi padang langganannya, padahal langit biru terbentang luas dengan Matahari yang terang benderang. Akibat terlambat bangun dan terburu-buru, Rea harus rela melewatkan sarapan pagi yang menyebabkan perut kerongcongan sebelum jam penanda makan siang berbunyi.

Rea yang sudah terlanjur keluar kantor terpaksa bersandar ke dinding menunggu hujan reda, tangan bertadah menampung air hujan yang jatuh menetes dari kanopi.

“Melamun saja! kesambet baru tahu rasa,” sahut Rudi teman sekantor Rea sambil memarkirkan sepeda motornya. Ia membuka helm dan meletakkannya di atas kaca spion. Sebagian bajunya basah oleh air hujan. Celana yang dilipat ke atas menghindari cipratan air yang menggenang.

“Orang lagi mikir di bilang melamun,” sanggah Rea sembari mencipratkan air hujan yang terkumpul di tangannya ke wajah Rudi.

“Kayak yang punya anak lima saja. Mikirnya sampai mengkeret itu jidat. Ngomong-ngomong belakangan udah jarang kelihatan. Asal tanya ke Lia jawabnya belum datang. Ke mana?”

Rudi memantikkan korek gas pada rokok yang sudah mendarat lebih dulu ke mulutnya. Menghisapnya beberapa kali lalu bermain dengan asap mengepul berserakan di udara.

“Mau tahu aja atau mau tahu banget?” jawab Rea sambil terbatuk-batuk karena asap rokok. “Bisa sedikit menjauh atau aku siram rokok itu dengan air hujan.”

Tidak rela rokok terakhirnya berakhir teragis di tangan Rea. Rudi melangkah menjauh sambil melindungi rokoknya jikalau sikap jahil Rea keluar, tetap menyiram rokoknya walau sudah menghindar. Bisa-bisa Rudi kehilangan nikmat dunia sesaatnya.

“Nggak juga sih, hanya sekedar ingin tahu saja.”

“Oh ya, sebelumnya selamat ya atas pernikahan kamu. Aku nggak bisa datang. Tapi ada titip amplop sama Lia, sudah tersampaikan kan!”

Belakangan Rea sering meminta izin untuk datang bekerja agak siang karena harus membawa Ibu berobat terlebih dahulu dan sering izin pulang lebih awal karena tidak ada yang menjaga Ibu di rumah. Karena tidak pernah ketemu dengan Rudi yang hanya akan di kantor di pagi dan sore hari, akhirnya Rudi menitipkan undangan pernikahannya pada Lia.

“Sudah! Terima kasih,” jawab Rudi sambil menyembur asap rokok ke luar dari mulutnya.

“Sama-sama.”

“Kamu sih waktu itu tidak mau.”

“Tidak mau apa?” tanya Rea keheranan.

“Tidak mau aku ajak nikah, kalau tidak kan kita yang duduk di pelaminan.”

“Jangan bercanda deh.” Tangan Rea sudah siap dengan air hujan yang menetes hendak mencipratkan ke rokok Rudi yang sudah terbakar separuh.

“Serius! Bukankah sudah aku utarakan dari dulu tapi kamu nya saja yang tidak ngeh.”

“Sudah deh. Sekarang kamu itu sudah punya bini jangan asal ngomong, dijaga tuh perasaannya. Dan lagi pikiran aku sudah banyak jangan nambahin beban pikiran lagi deh.”

Yang tadinya Rea hanya jahil ingin mengerjai Rudi, Tangannya kebablasan mencipratkan air ke rokok Rudi tapi dengan cepat Rudi melindungi rokoknya. Karena palak, Rudi menampung air hujan yang sudah mulai reda dan mencipratkan ke wajah Rea.

“Ok cukup Peace!”

Sekali lagi Rudi mencipratkan air hujan ke wajah Rea karena belum puas. “Emangnya mikirin apa sih?”

“Apalagi, ya Ibu lah. Tidak mungkin pasangan hidup,” jawab Rea menyeka wajah yang basah dengan kerah baju kemejanya.

“Sudah tidak bernafsu untuk nikah? Pantesan di ajak nikah gak mau.”

“Untuk sementara waktu belum.”

“Oh ya, kenapa tidak coba pengobatan setrum listrik?”

“Setrum listrik? Tidak pernah dengar. Bisa jegang dong.”

“Teknik pengobatannya memang begitu. Tetanggaku sakit stroke juga seperti Ibu kamu lalu coba berobat setrum listrik beberapa kali sekarang ada perubahannya.”

“Perubahan yang lebih baik atau yang lebih buruk.”

“Yang lebih baik lah tentunya. Coba saja deh …”

“Nanti tidak jelas. Kemarin pengobatan pakai jeruk purut nggak jelas sekarang pakai setrum listrik. Udah kapok ah.”

“Apa salahnya di coba? Mana tahu memang benar.”

“Aku mau bawa Ibu berobat ke spesialis saraf.”

“Bukannya ke spesialis saraf mahal. Coba saja dulu. Mana tahu berhasil.”

Pandangan mata Rea kosong menatap langit biru yang dihiasi pelangi yang terlihat hanya sebagian, terhalang oleh gedung bertingkat.

Sebuah mobil mini bus melaju kencang menghantam genangan air di jalanan kompleks. Mencipratkan air kotor ke celana Rea.

“Woi,” teriak Rudi yang marah berniat melempar mobil dengan sepatunya yang basah.

“Sudah, tidak apa-apa kok.”

“Jadi kotor celananya.”

Lihat selengkapnya