SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #17

Awal perubahan

Takut jika kejadian kemarin terulang kembali saat Ibu menangis yang hingga saat ini belum tahu juga apa penyebabnya, Rea memilih tidak masuk kerja. Sore hari nanti juga sudah janji dengan Dudi akan menemani Ibu pergi ke spesialis saraf. Akan sangat melelahkan jika Rea pergi bekerja lalu pulang dan pergi lagi.

Saking lelahnya Ibu menangis kemarin, Ibu terlelap dalam tidur yang panjang dan baru terbangun di tengah malam. Ibu menangis lagi tanpa suara. Rea yang terbangun karena ingin buang air kecil, menghentikan langkah kakinya saat hendak pergi ke kamar mandi. Ibu terduduk lesu sembari menghapus air matanya yang jatuh. Sesekali terdengar isak tangisnya yang ditahan.

“Bu,” sahut Rea masuk ke kamar Ibu.

“Re. Kok bangun. Ibu mengganggu kamu lagi ya?” tanya Ibu dengan perasaaan sangat bersalah. Memaksa untuk tersenyum tetapi tidak simetris, bibirnya mencong ke kiri. Belakangan bicara Ibu mulai tidak lancar dan terkadang terdengar tidak begitu jelas.

“Nggak kok Bu. Rea bangun karena sesak pipis.”

Sudah dua kali Rea mendapati Ibu menangis di tengah malam. Sekarang Rea mengerti mengapa Ibu memilih tidur terpisah darinya. Mungkin Ibu sering menangis di tengah kesunyian malam dan tidak mau Rea terganggu dengan suara tangisannya.

Rea merapikan rambut Ibu yang berantakan, sudah hampir putih seluruhnya. Rambut yang dulu lebat bergelombang telah banyak berguguran tertinggal di sisir. “Bu, siang tadi kenapa Ibu menangis?” tanya Rea dengan lembut agar tidak menyinggung perasaan Ibu.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Ibu. Tatapan matanya kosong disambut air mata yang menetes jatuh. Rea mengelus-elus pundak Ibu agar ia lebih tenang.

“Kalau ada masalah, Ibu cerita ya sama Rea. Bagi bebannya sama Rea, jangan di simpan sendiri. Rea siap kok berbagi bebannya sama Ibu tapi kalau belum mau cerita sekarang juga tidak apa-apa. Kalau sudah lebih tenang cerita ya sama Rea,” ucap Rea yang terbawa emosi dan tanpa sadar meneteskan air mata. Ikatan batin yang terjalin kuat membuat Rea dapat merasakan apa yang Ibu rasakan.

Ibu memeluk Rea erat, gadis kecilnya yang dulu selalu ia bawa di boncengan sepeda ke mana pun ia pergi telah tumbuh menjadi gadis mandiri yang siap sedia memberikan bahunya untuk Ibu bersandar. Tangisnya pecah dalam pelukan Rea yang juga berurai air mata.


Dudi datang lebih awal dari jam yang sudah di janjikan dan langsung membawa sepada motornya masuk ke dalam rumah menghindari aksi pencurian karena tidak ada orang di rumah nantinya. Mereka pergi dengan menaiki becak Pak Eril yang sudah siap sedia menanti panggilan untuk segera pergi.

Pak Eril melajukan becak bermotornya perlahan, selain faktur usia yang tidak lagi muda untuk ngebut di jalanan yang kebetulan lempeng terbebas dari kemacetan karena belum saatnya jam pulang kerja tetapi agar Ibu merasa nyaman duduk di kursi penumpang.

Setelah sampai Dudi langsung turun dari kursi boncengan untuk bersama Rea membantu Ibu turun. Kakinya yang kian susah untuk digerakkan membuat Ibu kesusahan turun dari becak. Ibu menurunkan kaki kirinya terlebih dahulu sambil berpegangan pada Dudi dan di saat hendak menurunkan kaki kanan, sandal Ibu tersangkut membuat tubuhnya oleng dan hampir jatuh beruntung Dudi dengan cekatan segera menahan tubuh Ibu. Sesaat kemudian entah mengapa tiba-tiba Ibu menoyor kepala Rea dengan tenaga seadanya. Rea yang merasa tidak membuat kesalahan terlihat kaget atas tindakan Ibu. Diam mematung berkutat dalam pikiran tentang kesalahan apa yang dia perbuat.

“Re, cepetan bantu sini,” panggil Dudi yang sudah berjalan menjauhinya memasuki praktek dokter spesialis saraf.

Rea menjawab dengan anggukan sambil berjalan cepat menghampiri. Rea menggantikan posisi Dudi yang pergi mengambil kursi, menjadi penopang Ibu berjalan tanpa membahas kejadian yang barusan terjadi. Baru berjalan yang jaraknya hanya 3 meter saja sudah membuat Ibu terengah-engah, nafasnya terdengar tidak beraturan.

“Duduk Tante. Istirahat dulu di sini,” ucap Dudi menyodorkan kursi untuk Ibu duduki. “Daftar dulu. Pertama kali berobat bayar Rp 5000 untuk kartu pasien.”

Tanpa menjawab Rea memberikan uang pas pada Dudi. Pandangan Rea menyebar menatap satu persatu kursi yang tersusun rapi tetapi tidak satu pun kosong tanpa penghuni untuk ia duduki hingga akhirnya memutuskan untuk menunggu di luar sekaligus menjernihkan pikiran.

Pak Eril yang sedang memarkirkan becak motornya tersenyum ramah yang di balas dengan senyum sesaat oleh Rea. Seperti sebelumnya Rea meminta Pak Eril untuk mengantar serta menunggu Ibu selesai berobat. Pernah kejadian sebelum Rea menggunakan jasa Pak Eril. Rea menggunakan becak bermotor yang sedang mangkal yang kebanyakan ujungnya terjadi cekcok mulut karena tidak sabar dengan Ibu yang kesulitan untuk naik dan turun becak. Hingga akhirnya Rea memohon pada Pak Eril untuk membantu mengantar dan menunggu hingga Ibu selesai berobat.

“Kok di luar? gak tunggu di dalam?” tanya Dudi yang menghampiri Rea yang berdiri menatap langit biru.

“Mau duduk di lantai?”

Lihat selengkapnya