SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #19

Cemburu

Minggu pagi yang seharusnya menjadi saat bersantai bagi setiap orang yang telah bekerja seminggu penuh, tapi tidak bagi Rea. Jadwalnya padat. Di mulai dari mencuci pakaian, belanja ke pasar, memasak untuk Ibu dan di akhiri dengan bersih-bersih rumah. Sorenya akan di lanjut dengan menyetrika pakaian. Bude Inez tidak lagi memasak makanan untuk Ibu, selain karena Bude Inez yang di sibukkan dengan mengurus suaminya yang terbaring sakit karena diabetes. Ibu mau Rea yang memasakkan untuk Ibu. Hanya merebus dan tumis. Ibu tidak di perbolehkan oleh dokter mengkonsumsi terlalu banyak minyak.

Baju yang lembab oleh keringat, rambut lepek dan dengan wajah yang kusam. Rea menggoyangkan sapu yang ada di tangan dari depan ke belakang dengan tenaga yang tersisa. Tenaganya sudah terkuras habis meninggalkan lelah yang menghinggapi raga. Debu yang beterbangan menyebabkan batuk yang menyakitkan tenggorokan.

“Nek!” panggil Rea pada Nenek penjual kue yang selalu lewat di depan rumah. Berjalan gagah tanpa alas kaki dengan baskom kue di atas kepala. Tenaganya masih kuat di usianya yang telah senja. “Kok terus saja gak singgah.”

“Oalaah maaf. Lali aku,” jawab Nenek penjual kue memasuki teras rumah. Rea menahannya sebentar untuk menyelesaikan tugasnya mengenyahkan debu dari dalam rumah. Dengan semangat Nenek menurunkan kue di depan pintu rumah. Mengangkut daun-daun pisang yang menutupi kue. “Monggo di pilih. Mau kue apa? Mumpung masih hangat.”

“Nagasari tiga, kue putu ayu juga tiga.” Rea menunjuk kue satu persatu.

“Ombus ombus Ibu mu suka,” ucap Nenek menawarkan kue yang berbalut daun pisang berbentuk kerucut.

“Boleh deh kasih empat.”

“Oh iya Ibu mu mana sudah jarang kelihatan, biasa sering papasan sewaktu jalan pagi?”

“Duduk di dalam Nek. Kakinya sudah berat untuk jalan lagi jadi nggak jalan pagi lagi. Di rumah saja. Kalau cuaca sedang bagus jemur di teras situ tapi berhubung hari ini mendung jadinya di dalam saja.”

“Oh!” Nenek penjual kue mengintip ke dalam rumah untuk melihat Ibu yang sedang duduk di ruang tengah.

“Itu saja deh Nek.”

“Ini ada tiwul dan grontol jagung. Kemarin cari-cari kan,” ucap Nenek sambil memasukkan kue dalam plastik menggunakan capit.

“Iya Nek. Mau dong.”

“Apa lagi?”

“Sudah cukup. Tidak ada yang makan nanti. Nggak ada orang di rumah.”

“Adikmu endi. Kerja?

“Gak kerja lagi off. Tadi pagi-pagi sekali pamit gak tahu pergi ke mana. Berapa semua Nek?”

Limolas ewu.”

Kaki Nenek yang bertelanjang kaki terlihat pecah-pecah dan penuh debu. “Gak pakai sandal Nek? Apa tidak sakit kakinya kalau terpijak batu?”

“Sudah Kebal. Kulit badak,” Nenek tertawa geli sampai memperlihatkan giginya yang ompong. Tawanya bikin Rea ikutan tertawa.

Rea memberikan uang Rp 20 ribu pada Nenek. Saat hendak memberikan uang kembaliannya Rea menolak. “Ambil saja kembaliannya Nek.”

“Waduh! Terima kasih banyak,” ucap Nenek penuh haru.

“Sama-sama.”

Sehabis memberikan bungkusan kue pada Rea. Nenek penjual kue merapikan songkok yang warnanya sudah pudar lalu menaikkan baskom kue ke atas kepala. Ketika hendak pergi tidak lupa dia memamerkan senyum ramahnya pada Rea.


Rea menenteng kue masuk dan membiarkan pintu tetap terbuka lebar.

“Ibu mau kue?” ucap Rea menghampiri Ibu yang sudah bersih dan wangi. Yang sangat kontras dengan Rea yang terlihat dekil.

“A wu,” jawab Ibu.

Lihat selengkapnya