Badan Rea rasanya mau ambruk. Kakinya seakan berat untuk melangkah. Sekali lagi Rea menguatkan diri. Inilah hidup, harus berjuang jangan cengeng dan pantang menyerah.
Rea berjalan pelan tak bergairah di pinggir trotoar. Pandangannya tertuju pada mobil yang berlalu lalang silih berganti. Pepohonan hijau yang melambai-lambai diterpa angin. Hingar bingar suara klakson yang saling bersautan tidak mau kalah bagaikan perlombaan yang menjadi pandangan sehari-hari di saat pulang kerja. Rea harus menempuh 800 meter dengan berjalan kaki untuk dapat menaiki anggutan umum. Betis sudah seperti pemain sepak bola, kebanyakan berjalan di pagi dan sore hari.
Sinar matahari sore menghangatkan punggung yang terus berjalan menjauhi. Biasanya Rea menggunakan payung yang ia sediakan kalau-kalau turun hujan atau di cuaca yang terik tapi payungnya tertinggal lantaran Rea memakainya tadi malam karena harus ke warung membeli gas yang telah habis, kebetulan hujan turun sangat lebat.
Tas yang Rea selempangkan bergetar. Getarannya berasal dari ponsel yang sengaja Rea tiyadakan nada deringnya. Rea tidak suka kebisingan. Untuk orang introvert sepertinya senyap itu lebih baik walau terkadang sering mendapat protes dari keluarga terdekat. Mereka bilang Rea sulit untuk dihubungi karena tidak menyadari ada telepon yang masuk.
“Halo Rea,” suara Bapak begitu lembut memanggil nama Rea. Entah mengapa Rea selalu merasa senang ketika bapak menyapanya begitu. Mungkin karena sejak lama Rea jarang mendengar namanya di sebut.
“Halo pak,” jawab Rea dengan semangat.
“Rea dimana?” bapak menanyai Rea seperti orang dewasa yang bertanya pada anak kecil. Lembut dan syahdu.
“Di jalan Pak. Sedang menunggu angkot.”
“Baru pulang kerja?”
“Iya.”
“Wawan hari ini kan … nikahnya.”
“Iya Pak.”
“Rea tidak ikut ke sana?”
“Rea sih pengen ikut tapi kalau Rea ikut siapa yang menjaga dan mengurus Ibu. Yang terpenting kan doanya agar menjadi keluarga yang Sakinah Mawadah Wa Rahmah. Dan jangan sampai kisah keluarga kita terulang kembali,” sindir Rea.
“Loh kok begitu ngomongnya.”
“Ada yang Rea mau tanyakan Pak,” sahut Rea yang tidak suka ngomong bertele-tele.
“Mau tanya apa?”
“Hampir sebulan lalu Bapak ada telepon Ibu ya? Bapak ngomong apa sama Ibu. Sampai Ibu nangis-nangis di depan rumah.”
“Ibu nangis?” jawab Bapak seolah ingin memperlihatkan keterkejutannya. “Mungkin Ibu salah paham Re. Nanti Bapak bicara lagi deh sama Ibu.”
“Memangnya Bapak ngomong apa sama Ibu?” tanya Rea yang masih penasaran.
“Bapak juga lupa sudah bicara apa sama Ibu,” Bapak berkilah untuk menghindari Rea.
“Lupa tapi bisa bilang Ibu salah paham,” ejek Rea dengan jawaban Bapak yang tidak masuk akal baginya. “Bapak masih di Medan?”
“Masih. Proyek masih libur. Mungkin bulan depan lagi Bapak akan mulai kerja.”
“Tidak datang ke rumah lagi?”
“Ada yang lagi Bapak urus untuk pekerjaan nanti, kalau sempat Bapak datang ya. Tapi… boleh tidak Bapak bawa Adik Dila.”
Rea terdiam sejenak, tidak menjawab permintaan bapak. Pikirannya bergelamut. Rea benci dengan kata-kata itu. Adik. Bagi Rea adiknya hanya satu yaitu Wawan, tidak ada yang lain. lagian Bapak tidak pernah menyatakan secara resmi jika Bapak telah menikah lagi dan telah memiliki anak lain dari pernikahan dengan wanita yang menjadi lawan aduh mulut Rea di saat SMA dulu. Tiba-tiba dengan pede menyebutnya dengan adik.
Memikirkan bagaimana perasaan Ibu nanti. Teganya seorang Bapak meminta izin pada anaknya untuk membawa anak dari madunya untuk menemui Ibu yang sedang sakit tidak berdaya. Rea juga masih belum bisa terima memiliki saudara lain selain Wawan walaupun bisa dikatakan mereka adalah saudara kandung karena Bapak yang sama.
Pikiran Rea melayang panjang. Mungkin saja anak madunya nanti akan menertawakan keadaan Ibu dan akan mengoloknya. Serta akan mengadukan keadaan Ibu pada ibunya. Dan bagaimana nanti perasaan Ibu nantinya jika dia melihat anak dari perebut suaminya. Anak dari seseorang yang telah menghancurkan rumah tangganya.
“Jangan dulu Pak! Tolong jaga perasaan Ibu,” jawab Rea tegas.
Untuk beberapa detik tidak ada pembicaan lagi. Bapak tidak merespon ucapan Rea dan Rea pun tidak memulai untuk membicarakan hal yang lain. Hati Rea masih kesal. Ingin rasanya mulut ini memaki Bapak tapi hatinya berkata sebaliknya, Rea masih bisa menahan emosi.