Auw …
Suara jeritan pasien terdengar nyelekit di telinga. Tidak habis-habisnya menjerit sambil meminta ampun agar pengobatan segera di sudahi. Sementara Pak Darmo, seseorang yang sedang duduk dengan sebuah kayu kecil berwarna sedikit kehitaman berbentuk segitiga di tangannya hanya tersenyum-senyum tipis. Memijat pelan tanpa mengeluarkan tenaga di telapak kaki kiri pasiennya, seorang pria yang kalau dilihat dari wajahnya berumur dua puluh tahunan.
“Mau sembuh kok udah. Laki-laki jangan cengeng Di tahan dulu, sakitnya hanya sebentar. Pasti nanti sudah bisa lari-lari lagi,” celetuk Pak Darmo pada pasiennya.
Selang beberapa menit tidak terdengar lagi teriakan dari pria Itu, ia justru menikmati pijatan yang terus menghujam telapak kakinya.
“Kok diam? Tidak sakit lagi?” tanya seorang Ibu yang duduk mendampingi pria itu.
“Tidak Bu. Enak!”
Jawaban pria itu di sambut tawa geli Pak Darmo, yang lain di sekitarnya juga ikut tertawa termasuk Rea. “Tuh kan bener. Dibilangi tahan dulu sakitnya sebentar. Sekarang mala keenakan.”
“Tadi memang sakit. Sakit sekali Pak. Benar-benar ampun deh saya. Lebih sakit dari saat kejadian ketimpah motor.”
“Sewaktu kejadian ya memang begitu. Sakitnya belakangan,” Pak Darmo menyudahi memijat dan menepuk kaki pria itu pelan. “Uwis! Coba berdiri perlahan masih sakit endak?”
Pria itu menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat dari mulutnya lalu mengambil aba-aba untuk bangkit. Berdiri dengan kaki kanan dulu sebagai penopangnya. Ia masih bimbang terdiam dengan mata terbelalak, kedua tangannya sudah siap sedia jika terjatuh nantinya. Lalu perlahan menaikkan dan menghentakkan kaki kiri untuk merasakan sesuatu. Wajahnya berubah mengisyaratkan keterkejutan. Dengan takut-takut berjalan ke pintu depan lalu kembali lagi.
“Wah udah enak di ajak berjalan Bu. Masih ada terasa sakit tapi sedikit sekali. Masih bisa abang tahan,” sahut pria itu kesenangan sambil memeluk Ibunya.
“Lain kali apa yang di tabrak. Naik motor kok bisa nabrak lembu. Lembunya tidak apa-apa malah kaki yang pincang,” ucap Pak Darmo mengejek pria itu.
“Belum sempat nabrak Pak. Keburu injak rem. Oleng jadi kakinya ketimpahan motor,” bela pria itu dengan malu-malu sambil menggaruk-garuk rambutnya.
“Anak sekarang susah dibilangi Pak. Asal dibilangi ngeyel. Sudah diingatkan jangan ngebut-ngebut, tidak mau dengar. Mau ikut-ikutan seperti Vinton Roci.”
“Valentino Rossi, Bu.”
“Entahlah pokoknya itu.”
“Nanti datang sekali lagi ya. Biar enak lagi jalannya,” sahut Pak Darmo sambil menepuk pundak pria itu dan mengusuk-ngusuknya pelan.