Matahari telah kembali ke peraduannya saat Rea pulang bekerja, menciptakan langit jingga yang memanjakan mata. Rea memasuki rumah dengan langkah gontai, menghempaskan tubuh ke sofa panjang dengan tas yang masih di selempangkan. Baru saja menyadari rumah terasa sepi dan sunyi dengan lampu yang belum dinyalakan, terdengar suara bising dari kamar mandi. Gayung yang terjatuh berkali-kali.
‘IBU’
Tersentak kaget, Rea segera bangkit menegakkan tubuh. Merasakan darah seketika naik ke atas kepala membuatnya pusing mendadak. Rea yang menderita rabun senja mangatur langkah perlahan agar tidak tersandung kaki kursi untuk menyalakan lampu.
“Bu!” panggil Rea berjalan menuju kamar mandi.
Ada yang aneh mengganggu pandangan. Dinding dan pintu dapur dengan cat berwarna hijau lumut, penuh kotoran yang melekat dengan aroma tidak sedap. Rea mempercepat langkahnya. Tampak Ibu sedang berdiri di samping bak mandi dengan gayung di tangan kanannya. Baju dan celana pendek selutut yang Ibu kenakan sebagian basah.
“Ibu sedang apa di situ? Kok banyak kotoran berceceran. Ibu mau buang air besar?” Tidak ada jawaban. Ibu justru terus mengambil air dari bak dengan gayung dan membuangnya berkali-kali. “Terus itu kenapa bisa sampai menempel di dinding dan pintu. Ada apa Ibu?”
“Aarh,” Ibu mengerang marah dengan memukul-mukulkan gayung ke bak mandi.
“Ibu kenapa? Ada yang salah sama Rea?” tanya Rea jalan mendekati Ibu. Tapi entah mengapa Ibu langsung mengayunkan tangannya hendak memukul Rea dengan gayung. “Ibu kenapa sih? Kenapa? Maunya apa? Rea capek Bu. Capek,” ucap Rea histeris.
Amarah tak lagi dapat dibendung. Rea naik pitam. Kepala dan hatinya tidak dapat menampung lagi beban yang sudah sangat padat. Rea yang sudah tersulut api emosi merampas gayung dari tangan Ibu dan memukul pantat Ibu untuk meluapkan emosi.
Tangis Ibu pecah. Menangis sejadi-jadinya.
Rea tersadar. Gayung jatuh dari genggaman dengan tangan yang bergetar. Rasa bersalah menggelayuti hati. Kesal yang terlampiaskan buktinya tidak memuaskan hati. Seandainya bisa lebih mengontrol emosi itu semua tidak akan terjadi. Rea tertunduk lesu menyesali perbuatannya, mengutuk diri sendiri telah menjadi anak yang durhaka. Merasa gagal menjadi anak yang berbakti kepada Ibu yang telah membesarkannya seorang diri.
Dalam diam dan air mata yang terus menetes membasahi pipi, Rea membersihkan tubuh Ibu dan dengan sekuat tenaga menggendong Ibu ke kamarnya. Setelah memakaikan Ibu dengan pakaian bersih, Rea merapikan rambut Ibu yang sedang berbaring lemas.
“Maaf. Rea minta maaf Bu. Maaf …” Rea memeluk Ibu dengan perasaan bersalah dan Ibu yang masih kesulitan bicara menjawab dengan tangisannya.
Masih dengan air mata yang berderai Rea membersihkan kotoran yang menempel di dinding dan pintu dapur. Kejadian yang melukai hati Ibu terus berputar berulang-ulang di kepala menolak pergi.
Sejak kejadian senja kelabu, Rea menjadi lebih pendiam. Sering termenung berandai-andai waktu dapat diulang kembali, ingin rasanya hati memperbaiki agar kejadian pemukulan tidak terjadi.