Penghiatan Ibu semakin membuat Rea frustrasi dan tidak dapat berpikir jernih. Ia kehilangan rasa percaya diri hingga lebih memilih menutup diri. Pekerjaannya semakin kacau balau dengan kesalahan yang terus dilakukan. Tidak menghiraukan atasan yang memberi peringatan.
Rudi yang melintas di hadapan Rea mengklakson untuk menyapa Rea tetapi Rea yang termenung sibuk dengan pemikiran yang kacau balau tidak merespon hingga Rudi menghentikan laju sepeda motornya dan mundur ke belakang menghampiri Rea. “Lagi banyak masalah ya … kelihatannya kacau gitu.”
Ucapan Rudi tidak digubris oleh Rea yang tidak menyadari Rudi ada di hadapannya. Kelakuan jahil Rudi pun keluar. Membunyikan klakson berkali-kali yang bukan hanya membuat Rea tersadar, Rudi menjadi perhatian orang di sekitar yang menatap sinis atas kebisingan yang terjadi.
“Apaan sih. Ngagetin aja,” ucap Rea marah.
“Santai Bray … habis di panggilin kayak gak punya kuping. Melamun saja terus sampai besok.”
“Nggak lucu.”
“Siapa yang lagi ngelawak,” sahut Rudi sambil mengejek Rea. “Ayo naik.”
“Mau ke mana?”
“Mau di ruqyah biar jinnya hilang.”
“Aku sedang tidak ingin bercanda Rudi. Kamu pergi aja deh sana.”
“Kalau kamu gak naik-naik. Aku akan terus di sini,” jawab Rudi nyolot.
Malas bertekak dengan Rudi akhirnya Rea menyetujui permintaannya. Naik ke atas sepeda motor, duduk di boncengan dengan menjaga jarak. Kedua tangan Rea ke belakang memegang erat Behel motor, menjaga keseimbangan supaya tidak terjatuh.
Rudi membawa Rea menghirup udara segar ke taman kota. Udara segar dapat membuat Rea menenangkan dan menjernihkan pikiran. Wajah kusam pucat lengkap dengan mata panda, sudah terpampang jelas kalau Rea kekurangan waktu tidurnya karena menanggung beban pikiran.
“Minum dulu. Sudah aku jampi-jampi tadi biar jinnya hilang,” Rudi memberikan sebotol air mineral pada Rea. Berhubung ucapan Rudi yang nyeleneh, Rea yang emosinya sedang tidak stabil memberikan tatapan tajam. “Bercanda. Ambil cepat. Cuci tuh muka biar kelihatan lebih segar. Kayak muka bangun tidur. Mungkin kalau kamu duduk di sini sendiri bakal di kira kuntilanak.”
Terpaksa Rea mengambil air minum yang diberikan oleh Rudi dan meletakkannya di sampingnya. “Terserah! Gak peduli.”
“Ya udah untuk diminum saja deh.”
“Bentar saja ya. Please!”
“Kenapa sih?”
“Jangan tanya kenapa,” ucap Rea yang sedang sensitif dengan kata ‘kenapa’.
“Kenapa? Kenapa? Kenapa?” ucap Rudi yang jahil.
Karena kesal. Rea menepuk pundak Rudi sekuat tenaga sekaligus sebagai pelampiasan amarah yang tertunda.