SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #25

Pelarian

Rea duduk meringkuk di sudut kamar yang gelap dengan masih menggunakan pakaian yang basah. Menangis dalam diam sepanjang malam hingga air matanya kering tidak mau keluar lagi. Merenungi kejadian demi kejadian yang belakangan terjadi padanya. Apa dia membuat kesalahan fatal hingga Tuhan menghukumnya. Atau merupakan ujian hidup yang harus ia lewati agar menjadi pribadi yang lebih kuat. Sejak dulu Rea menyakini jika Tuhan tidak akan pernah memberikan ujian dari batas kemampuannya.



Bersih-bersih tidak lagi ampuh untuk melupakan masalah. Rea butuh pelarian. Mengasingkan diri mencari suasana baru untuk merenungkan memilah solusi terbaik dari menyelesaikan masalahnya.

‘Kita jadi liburan ya … Lusa kita berangkat.’

Pesan singkat yang di kirim oleh Rea yang mendadak mengonfirmasi akan liburan lusa membuat Niena kaget bukan kepalang. Bukannya waktu itu bilangnya mau membatalkan mengapa tiba-tiba berubah pikiran. Niena yang tidak sabar ingin mendengar langsung dari Rea harus menunda niatnya karena di kantornya di larang menelepon di saat jam kerja.

‘Yakin? Biar buat pengajuan cuti nih.’

Niena yang memang sudah tidak sabar untuk liburan langsung bersemangat membalas pesan singkat Rea.

‘Ya’

Jawaban Rea hanya dengan dua huruf membuat Niena senyum-senyum sendiri. Ia sudah membayangkan apa saja yang akan dibeli dan akan ke mana saja saat liburan nanti. Segera Niena ke bagian personalia, meminta izin cuti sebelum didahului yang lain.

‘Hampir saja izin cuti di tolak karena memberitahunya dadakan. Tapi untung di izinkan. Ayo lusa kita berangkat.’

’Ok.’


Sepanjang hari di kantor Rea terus menyibukkan dirinya. Menghindari Rudi yang terus-menerus memohon maaf padanya. Hati Rea belum siap untuk memberi maaf pada Rudi. Tidak seharusnya Rea mencurahkan isi hatinya pada pria yang sudah beristri

Sepulang kerja Rea mencari-cari Paspor yang ia lupa entah meletakkan di mana. Setelah sebelumnya tetap mengerjakan tugasnya untuk mengurus Ibu. Memandikan dan memberi Ibu makan. Rea membongkar lemari mengeluarkan semua yang berpotensi tersimpannya Paspor. Baru bulan lalu Rea menyimpannya di lemari tapi entah di mana pastinya ia lupa. Berkas dokumen yang ia simpan rapi kini berserakan di lantai. Lama mencari sampai kamarnya seperti kapal pecah. Rea baru teringat kembali setelah kekacauan ini terjadi, ia menyimpannya di kotak biasa Ibu menyimpan dokumen miliknya.

Akhirnya buku imut-imut bersampul hijau tua itu ketemu juga. Yang Rea peroleh karena paksaan dari Niena, setiap hari mengingatkan Rea. Niena memaksa Rea membuat Paspor sebagai bentuk keseriusan Rea untuk mau pergi berlibur.

Ada sesuatu yang terjatuh saat Rea mengambil Paspor dari dalam kotak, foto Rea dan Wawan sewaktu kecil yang terselip. Kembali Rea teringat dengan kisah masa kecilnya. Spontan Rasa rindu akan kenangan manis tempo dulu datang menghampiri. Rea mengeluarkan semua dokumen yang di dalamnya banyak terdapat foto masa kecilnya dan foto masa muda Ibu, yang sebenarnya sudah sering Rea lihat tapi tidak pernah bosan untuk melihatnya kembali. Ibu menyimpan banyak dukomen lama yang menurut Rea tidak perlu di simpan lagi tetapi Ibu menolak membuangnya dengan alasan sebagai kenang-kenangan. Mulai dari kuitansi pembelian televisi untuk pertama kali beserta buku garansi, daftar kegiatan lingkungan tahun baheula Serta surat yang pernah Bapak kirim dulu. Tapi sudahlah. Begitulah Ibu dengan keunikannya.

Ada sebuah amplop berwarna cokelat yang tidak pernah Rea sentuh. Yang dulu Rea tidak mau tau apa isi di dalamnya, kini Rea penasaran. Rea membuka kertas yang sudah mulai rapuh dan membaca isinya dengan seksama. Kertas yang telah berubah menjadi lusuh itu jatuh dari tangan Rea, wajahnya berubah pucat dan kembali termenung dalam diam.


Setelah memastikan semua telah di bawa dan tersusun rapi di dalam tas. Rea berpamitan pada Ibu untuk memulai perjalanan. Pelarian untuk menenangkan diri menjernihkan pikiran. Niena telah menunggu di depan rumah bersama Pakde yang akan mengantarkan mereka ke bandara.

“Rea pergi dulu ya Bu,” ucap Rea pamit pada Ibu. Mencium tangan dan kening Ibu lalu memeluk erat Ibu.

Ibu menggenggam tangan Rea tidak mau melepaskannya dengan mata berkaca-kaca seakan tidak mau Rea pergi. “Re …” ucap Ibu lirih.

“Hanya seminggu Bu. Berikan Rea waktu seminggu,” Rea melepaskan tangan Ibu yang masih menggenggam erat tangannya. Masih ada rasa kecewa Rea pada Ibu karena telah mengadu pada Tante Yani seakan Rea seorang penjahat.

Lihat selengkapnya