Ibu tidak lagi bisa berdiri. Hanya tergolek lemas tidak berdaya di dalam kamar. Dari kejadian tempo hari Rea belajar untuk memahami Ibu lebih dalam. Ibu butuh lebih banyak pengertiannya. Sakit bertahun yang Ibu derita dan rasa lelah telah mengubahnya menjadi lebih sensitif. Rea harus lebih banyak bersabar menghadapi.
Sepulang kerja Rea tidak langsung pulang ke rumah, Pakde meminta Rea untuk singgah lebih dulu ke rumahnya. Ada yang mau Pakde bicarakan mengenai Ibu. Bersama Wawan yang menjemputnya di kerjaan Rea meluncur ke rumah Pakde Magrib menjelang karena Pakde akan menutup rapat pintu rumahnya jika waktunya sholat tiba.
Rea dan Wawan disambut oleh Pakde serta Bude Rin dan segera dipersilahkan masuk. Mereka duduk saling berhadapan di ruang tamu.
“Teman Pakde ada yang sakitnya sama seperti Ibu kalian Re. Dia pergi berobat ke daerah Stabat dan ada perubahan. Besok dia mau berobat ke sana lagi,” ucap Pakde yang duduk berdampingan dengan Bude Rin. “Saran Pakde kita coba bawa Ibu kalian berobat ke sana. Bagaimana pendapat kamu Re?”
“Lumayan jauh Pakde,” ucap Rea sedikit kanget. “Transportasi kita ke sana bagaimana?”
Stabat sebuah Kecamatan di Kabupaten Langkat. Waktu tempu perjalanan 90 menit dari kota Medan. Tempat yang sudah tidak asing lagi bagi Rea. Saat Rea kecil, Bapak sering membawa Rea berkunjung di kampung halamannya itu. Bermain di sawah, mandi di sungai kecil dan memanen buah coklat juga sawo. Kampung halaman yang sudah sangat lama tidak Rea injakkan kaki di sana. Walau samar-samar Rea masih mengingat suasana lama yang pasti kini telah berubah banyak.
“Nah itu dia. Mobil Pakde tidak memungkinkan untuk kita pakai menuju ke sana. Karena harus menyeberangi sungai nanti. Teman Wawan ada yang bisa sewakan mobil. Bagaimana dengan Faisal? Teman Wawan yang waktu itu membawa mobil ke Padang saat nikahkan.”
“Sebentar Wawan telepon Faisal dulu, Pakde. Takutnya mobilnya sedang disewakan,” sahut Wawan lalu pamit pergi ke teras rumah untuk menelepon.
“Kalau ada mobilnya dan besok jadi pergi. Biar Bude yang masakan untuk makan kita besok jadi tidak perlu beli. Lumayan berhemat,” ucap Bude Rin sambil tersenyum ramah pada Rea.
“Niena ikut ya! kan libur,” ucap Niena yang ikutan nimbrung dengan membawakan minuman. “Teh manis hangat untuk Rea dan Wawan. Air putih panas untuk Bapak dan teh tawar untuk Ibu. Maaf Bu, gula diabetesnya habis. Niena belum sempat beli.”
“Tidak apa-apa kok. Sesekali minum yang tawar,” ucap Bude Rin menggeser teh tawar miliknya untuk lebih dekat dengannya. “Rea terpaksa lah ya harus izin tidak masuk kerja besok?”
“Iya Bude. Kalau jadi, besok saja izin ke atasan.”
Selesai menutup telepon Wawan kembali masuk ke dalam rumah. “Mobilnya ada. Nanti Faisal yang bawa. Wawan sudah bilang. Besok pagi-pagi dia datang.”
“Kalau begitu jadi ya kita bawa Ibu kalian ke Stabat. Biar Pakde konfirmasi sama temen Pakde kalau kita ikut,” ucap Pakde. Bersemangat mengambil ponselnya untuk menelepon temannya.
“Tapi Wawan gak bisa ikut Pakde. Besok Wawan masuk pagi dan gak bisa ganti shift,” ucap Wawan terburu-buru sebelum Pakde disibukkan dengan teleponnya.
“Iya sudah tidak apa-apa. Kan ada pakde nanti,” jawab Pakde berlalu pergi untuk menelepon di teras rumah. Bergantian dengan Wawan.
Kesepakatan pun dibuat untuk besok berangkat dari rumah jam tujuh pagi berhubung perjalanan yang di tempuh cukup jauh. Dan pada kenyataannya molor. Mobil baru bergerak jalan lewat satu jam dari kesepakatan.
Bude Inez yang mendengar juga meminta ikut serta. Ia butuh liburan dan hiburan setelah suami tercinta belum lama ini pergi untuk selama-lamanya setelah melawan penyakit Diabetes Basah.
Setelah melewati kota Binjai dan Tandem. Mobil akhirnya memasuki Stabat. Rea mengamati keluar jendela untuk melihat rumah masa kecil Bapak. Tidak satu pun yang tampak di depan mata sama dengan di ingatan. Semua tampak berbeda. Melewati rumah nenek yang dulu sering Rea sambangi yang sekarang telah berganti menjadi bangunan sekolah. Kenangan dulu tak lagi sama, sudah banyak yang berubah.
Roda mobil terus berputar memasuki perkampungan yang terkadang masih ada jalan yang belum di aspal. Hanya jalan berbatuan membuat mobil naik turun membuat yang di dalamnya ikut bergoyang.
Di ujung jalan menuju jalanan menurun, Pakde turun dari mobil untuk mempertanyakan situasi. Di jalanan menurun hanya ada sungai yang terbentang luas, Sungai Wanpu. Tidak terlihat ada jembatan atau jalan penghubung. Di seberang sungai tampak getek yang sedang berjalan kembali setelah menurunkan penumpang beserta kendaraannya.
“Mobilnya mau naik getek. Turunnya agak terjal jadi agar mengurangi beban semua pada turun ya,” ucap Pakde dari jendela mobil yang terbuka memerintahkan untuk dari mobil segera.
“Ibu bagaimana, Pakde?” tanya Rea memastikan.
“Di dalam mobil saja. Nanti sama Pakde yang menjaga.”
Mobil turun lebih dulu menaiki getek di lanjut Rea, Niena, Bude Rin dan Bude Inez yang menaiki getek dengan hati-hati.
Pengalaman naik getek yang menyenangkan namun menegangkan. Pasalnya pernah terjadi sebelumnya mobil yang hendak menaiki getek tergelincir dan masuk ke sungai. Semoga tidak terjadi pada mobil yang Rea tumpangi.
Sebelum jam makan siang mobil menepi di sebuah rumah sederhana.
Pakde menggendong Ibu turun dari mobil dan menggolekkan badan Ibu ke dalam rumah.