SAYANG TANPA JEDA

Vhira andriyani
Chapter #28

Penolakan

Satu harian ini udara panas begitu menyengat. Badan terasa gerah. Angkot yang selalu penuh sesak semakin menambah penat. Keringat jagung jatuh berjujuran, baju Rea basah. Rasanya ingin cepat-cepat pulang dan langsung mengguyur badan dengan air yang dingin. Baru membanyangkannya saja sudah begitu menyegarkan. Anak lelaki bertubuh tambun yang duduk dipojokan bersama ibunya dengan nikmat menyerup es seakan mengejek Rea. Tenggorokan kering meronta menyaksikannya. Kalau sana ia adik Rea, sudah Rea rebut dan habiskan es itu.

Sesampainya dirumah Rea langsung berlari ke kamar. Melempar tas diatas kasur lalu meraih handuk yang tergantung.

“Rea mandi dulu ya Bu,” sapa Rea pada Ibu yang tergeletak di atas kasur yang di letakkan di ruang tamu dan Ibu menjawab dengan anggukan kecil.

Lima menit saja tidak cukup. Saat Rea ingin menyudahi bersih-bersih. Rasa gerah lagi-lagi menyerang. Tak pelak Rea mengurungkan niat dan kembali mengguyur badannya sambil bernyanyi dengan suara yang kecil. Hingga terdengar suara speaker dari masjid yang mengumandangkan lantunan ayat-ayat pendek yang bisa diputar sebelum Azan Magrib. Tangan Rea juga sudah mulai keriput. Entah sudah berapa gayung air yang Rea siramkan ke tubuh agar terus merasa segar.

Ada tiga panggilan tidak terjawab yang tertera di layar ponsel, dari Pakde. Ada apa gerang Rea. Apa sesuatu yang penting?. Tidak mungkin sekarang Rea meneleponnya balik, sudah waktunya untuk Sholat Magrib. Pakde orang yang taat beribadah. Dia tidak akan melewatkan waktu sholat dan pasti akan menghiraukan panggilan masuk karena telepon di senyapkan.

Selepas Magrib Rea mendapat telepon lagi dari Pakde. Dengan cepat Rea mengangkat sebelum berhenti berdering.

“Kita bawa Ibu kamu kerumah sakit saja ya. Dokumen dan baju-bajunya disiapkan. 30 menit lagi Pakde datang lagi untuk jemput,” ucap Pakde diujung telepon.

“Tapi apa tidak buat rujukan dulu Pakde?” tanya Rea memastikan.

“Temen Pakde ada yang seperti itu. Katanya tidak perlu rujukan. Siap-siapkan saja semuanya ya.”

“Iya pakde,” ingin membantah nyatanya tidak bisa. Apa akan ada gunanya membawa Ibu ke rumah sakit.

Rea menyiapkan segala keperluan Ibu. Baju ganti, sarung serta handuk. Juga teremos air panas.

Tepat waktu. Belum lewat dari 30 menit Pakde sudah sampai. Dari dulu Pakde dikenal sebagai abang yang disiplin bagi Ibu. Tepat waktu dan selalu ada di saat Ibu membutuhkannya. Menjadi garda terdepat bila Ibu ada masalah makanya Ibu sangat mengagungkannya.

Bukan hanya Pakde, ada juga Bude Rin istri Pakde dan Bude Inez yang ikut membawa Ibu ke rumah sakit. Mereka orang-orang yang berperan penting untuk Ibu. Mereka selalu ada disaat Ibu senang walaupun susah, selain karena rumah mereka yang berdekatan. Selayaknya seorang kakak yang sayang kepada adiknya. Begitu tulus.

Di dalam mobil begitu sunyi sepi, tidak ada suara selain deruan napas yang terdengar. Tidak ada pembicaraan panjang hanya saling sapa basa-basi menanyai kesehatan. Lirikan haru berkaca-kaca berfokus pada satu, tubuh Ibu yang sudah sangat menyusut dengan tatapan mata yang kosong. Sesekali Ibu tersenyum. Bibirnya yang tak lagi normal karena penyakit membuatnya jadi miring ke kiri, tapi senyuman itu terlihat indah yang tidak akan pernah Rea lupa.

Pakde memberhentikan mobil langsung di depan ruangan IGD rumah sakit lalu turun lebih dulu untuk menggendong ibu masuk ke ruang IGD. Betapa indahnya melihat kasih sayang seorang abang kepada adiknya. Diusia yang tidak lagi muda dimana tenaga tersisa tidak begitu banyak, Pakde menutupi kelemahannya demi kesembuhan adik tercinta. Rea sering mendengar cerita Ibu tentang kebaikan abang tertuanya itu, secara financial Pakde juga sering membantu. Bahkan Ibu masih menyimpan jam tangan Seiko pemberian Pakde disaat Ibu masih duduk di bangku sekolah, Ibu mengklaim bahwa ia lah adik kesayangan.

Sebelum disetujui untuk dirawat, barang-barang keperluan Ibu tidak diturunkan.

Setelah membaringkan Ibu di ranjang, Pakde bergegas pergi untuk memarkirkan mobil di tempat semestinya. Hingga Pakde kembali tidak ada yang menggubris Ibu sama sekali padahal ada tiga orang yang sedang duduk santai di ruang IGD. Mungkin mereka menganggap tidak ada pasien. Seakan tidak peduli pada Ibu, hingga Pakde menghampiri mereka.

“Permisi. Bisa tolong dicek adik saya,” ucap Pakde dengan lembut.

Pakde tampak sedikit memuncak terbukti dari sorot matanya yang tajam dengan mata yang memerah. Apalagi dalam keluarga Rea memiliki riwayat darah tinggi. Pakde berusaha mengotrol emosinya agar tidak terjadi keributan.

“Ada rujukan Pak?”

“Tidak ada.”

“Untuk pasien yang sedang tidak dalam keadaan darurat biasa harus menggunakan surat rujukan Pak tapi sebentar saya periksa.”

“Silahkan.”

“Sebelumnya ada riwayat penyakit apa?”

Lihat selengkapnya