Rena sangat murung. Hari ini adalah hari keberangkatan Bapak menuju Semarang. Bapak memang berjanji akan sering pulang, mungkin satu atau dua bulan sekali. Tapi tetap saja ucapan itu tidak menghibur Rena. Gadis itu sudah siap dengan sepatu hitam dan kaus kaki putih serta dress dengan gambar beruang. Topi juga menghiasi kepalanya. Rambutnya hari ini dikepang. Rena terlihat sangat manis. Ia ingin terlihat manis dan lucu dihadapan Bapak.
Koper dan tas yang akan Bapak bawa sudah berjajar di teras. Rena menunggu bersama tas dan koper itu seolah ingin menunjukkan kalau dirinya ingin ikut serta. Sementara itu Winda dan Dhika menjaga Tania, adik bungsu mereka, khawatir ada nyamuk yang menggigit adik bungsu mereka itu.
“Pak, Rena boleh ikut?” tanya Rena kepada Bapak saat melihat Bapak ke teras sembari membawa sepatunya. Pertanyaan itu sudah dilontarkan Rena berulang kali dan Rena juga sudah tahu jawabannya.
“Rena disini, bersama Ibu, kakak dan adik Rena. Bapak disana juga harus bekerja.”
“Bapak kenapa pergi? Bapak enggak sayang sama Rena?”
Pertanyaan dari anak yang baru saja duduk di bangku SD kelas satu itu sontak membuat hati Bapak teriris. Ingin rasanya membawa Rena sekaligus memboyong keluarganya. Tapi istrinya itu menolak. Terlalu besar biayanya jika satu keluarga pindah, belum lagi sekolah anak-anak harus ikut pindah.
“Bapak sayang sama Rena. Makanya Bapak pergi, mencari uang yang banyak untuk Rena.”
“Rena sudah, jangan buat Bapak susah!” tegur Ibunya. Teguran itu membuat Rena diam menatap lantai teras rumah mereka. Akhirnya semua anggota keluarga selesai bersiap-siap.
Keluarga kecil itu akan mengantar Bapak menuju terminal bus. Sekar juga turut serta. Meski harus berpisah dengan suaminya, Lastri terlihat lega karena setidaknya dengan promosi ini ada kenaikan gaji. Walaupun dalam hatinya tentu bersedih harus berpisah dari suami. Tapi ini semua demi anak-anak, begitu yang Lastri ucapkan pada dirinya sendiri.
Selama perjalanan menuju terminal bus, Rena terus bergelayut pada lengan Bapak. Kesedihan dalam hatinya sulit dilukiskan. Perjalanan menuju terminal bus menggunakan angkutan kota terasa sangat singkat bagi Rena. Rena tentu belum memahami alasan mengapa Bapak harus pindah meninggalkan dirinya. Saat ini yang diinginkannya adalah Bapak tidak pernah jadi pergi.
“Rena, kamu enggak kasihan sama Bapak? Berat itu kepala kamu!” tegur Dhika. Bapak hanya tersenyum sambil mengacak rambut putra sulungnya itu seraya berkata, “enggak berat, Nak. Biar saja Rena mungkin masih sedih. Dhika selama Bapak enggak ada di rumah, jagain Ibu, Winda, Rena dan Tania ya?”
Dhika kemudian mengangguk mendengar permintaan Bapak. Dhika baru berumur sebelas tahun, SD saja belum lulus. Dalam hati ia juga merasa kecewa karena Bapak harus pergi. Tapi karena dirinya sudah lebih besar dibanding adik-adiknya, Dhika berpikir tidak boleh menangis atau bersedih. Dia harus lebih kuat dan rela ditinggalkan Bapak.