Bisa dihitung jari berapa kali Bapak kembali. Setahun mungkin hanya dua kali Bapak kembali. Itu juga tidak pernah lama, mungkin satu atau dua minggu. Rena akhirnya terbiasa hidup tanpa Bapak. Rena mulai memahami aturan tak tertulis di rumah ini yang berlaku hanya untuk dirinya ; jangan banyak bicara.
Rena tak pernah membanggakan dirinya yang cukup berprestasi di sekolah. Percuma, ibunya hanya akan mengangguk saja, tanpa pujian atau apresiasi yang berharga. Apalagi sejak Winda sempat tak naik kelas saat SMP, Rena semakin tidak boleh mengatakan satu kata pun tentang prestasinya.
“Hargai Winda, dia juga ingin punya prestasi. Jangan bikin Winda iri!”
Begitu kata Ibu dan juga Dhika. Dhika kini berkuliah di jurusan ekonomi. Sementara Tania sudah berusia sembilan tahun sekarang ini. Anak bungsu itu menjadi tuan putri di rumah. Tidak pernah ada yang menyuruhnya. Semua orang sangat memanjakan dan harus menuruti apa yang Tania inginkan. Tania yang baru berusia sembilan tahun itu dengan mudahnya meniru orang-orang sekitarnya. Jadi sudah bisa ditebak siapa kakak yang paling sering ia suruh. Tentu saja itu Rena.
Rena kini sudah enam belas tahun. Pakaian seragam yang ia kenakan bukan lagi seragam putih merah. Kini dirinya sudah akan masuk SMA. Ibu hari ini sudah membelikannya seragam putih abu. Begitu juga dengan Winda. Baik Winda dan Rena bercita-cita ingin masuk SMA Harapan Bangsa.
“Bu, aku pokoknya enggak mau satu sekolah bareng Rena!” rengek Winda. Entah sudah berapa kali Winda merengek selama ini. Alasannya ia tidak ingin satu sekolah dengan Rena.
“Iya tapi nanti Ibu susah kalau kalian beda SMA. Satu SMA saja, ya?” pinta Ibu lembut pada Winda. Winda menggeleng kuat-kuat.
“Enggak mau! Nanti orang-orang tahu kalau aku sama Rena itu saudara! Nanti mereka pasti bully aku, Bu! Aku enggak mau dibanding-bandingkan sama Rena!”
“Jadi Winda mau masuk SMA mana?”
“SMA Harapan Bangsa, kan Winda sudah bilang sama Ibu. Nilai ujian Winda juga cukup masuk sana,” ujar Winda dengan mata berbinar karena tahu keinginannya akan dikabulkan.
Rena hanya diam sambil menimang rapor dan laporan hasil ujiannya. Nilai Rena lebih tinggi dibandingkan Winda. Tapi rasanya belum apa-apa ia harus mengalah pada kakaknya itu. Ah, harapannya masuk SMA yang dicita-citakannya gagal.
“Rena, kamu masuk SMA Pelita saja, ya?”
Pertanyaan itu sebenarnya tidak membutuhkan persetujuan Rena. Ibu pasti akan melakukannya. Tak peduli tentang keinginannya untuk masuk SMA Harapan Bangsa juga.
“Tapi Bu, Rena juga mau masuk SMA Harapan Bangsa,” ucap Rena, mencoba membuat Ibu berubah pikiran, meski ia tahu itu semua sia-sia.