Lastri terkejut saat mendapati suaminya ada di depan rumah, lengkap dengan koper dan tasnya. Rasanya Anton tidak berkata kalau ia akan pulang dan tiba hari ini. Wajah lelah suaminya itu terlihat jelas dari matanya yang sayu, seolah tidak tidur dengan nyenyak untuk waktu yang lama. Anton menyeret kopernya tanpa bicara.
“Anak-anak kemana?” tanya Anton setelah menyimpan koper dan merebahkan dirinya di kursi ruang tamu. Rumah itu terlalu sepi untuk rumah yang dipenuhi anak-anak berbagai usia.
“Dhika masih kuliah. Winda sedang jemur diatas. Tania masih tidur. Kalau Rena, aku enggak tahu. Mungkin dia pergi lagi ke rumah Sekar. Anak itu jarang di rumah. Lama-lama pindah dia ke rumah Sekar!”
Lagi-lagi Lastri bicara buruk tentang Rena, pikir Anton. Lastri membawakan secangkir teh manis panas dan sekaleng biskuit. Hanya itu makanan yang ada saat ini. Karena tak tahu Anton akan pulang mendadak.
“Aku sudah mengajukan cuti selama satu minggu. Aku juga minta untuk kembali ke kota ini,” ujar Anton sambil melahap sepotong biskuit. Mata Lastri melebar karena terkejut.
“Meman gada posisi buat kamu Mas? Aku enggak mau lho kalau sampai demosi. Posisi kamu sekarang itu sudah bagus!”
“Ada yang akan pensiun bulan depan. Jadi aku dipersiapkan untuk menggantikan. Gaji dan tunjangan mungkin akan disesuaikan, tapi enggak akan terlalu signifikan.”
Lastri mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya ia senang karena suaminya akan kembali. Tapi disisi lain ada perasaan tak suka. Anton pasti akan sering menceramahinya soal Rena.
“Rena dan Winda jadi daftar ke SMA Harapan Bangsa, kan?”
Benar saja, baru juga kembali ke rumah tapi Anton sudah membahas Rena. Sekar pasti mengadukan yang tidak-tidak, ucap Lastri dalam hati. Sungguh sebuah kejanggalan Anton mendadak pulang dan kini membahas sekolah Winda dan Rena.
“Winda yang kesana. Rena maunya ke SMA Pelita,” jawab Lastri sekenanya.
“SMA Pelita? Rena enggak pernah bilang mau masuk ke SMA Pelita. Jelas-jelas dia bilang sama aku kalau mau masuk ke SMA Harapan Bangsa. Itu juga kan SMA favorit, Las. Rena bisa selangkah lebih dekat sama cita-citanya,” ujar Anton dengan sedikit gusar.
“Lah, kamu enggak mikirin Winda? Winda juga cita-citanya kesana, Mas. Kasihan Winda kalau misalnya dia harus satu sekolah sama Rena. Anak-anak lain pasti membicarakan Winda. Nanti terbahas kalau Winda pernah tinggal kelas. Kamu enggak mikirin mentalnya Winda?”