“Renaaa! Bawakan ini untuk Bibi Sekar!”
Terdengar suara Ibu dari dapur. Rena menutup buku matematika yang sedang ia baca dan bergegas pergi menuju dapur. Ditemuinya Ibu yang baru mengeluarkan kue bolu dari oven. Winda juga terlihat ikut membantu. Sementara Dhika, baru saja turun mengangkat jemuran.
“Kamu itu, bantuin Ibu kenapa? Malah diam terus di kamar!” tegur Dhika saat melihat Rena baru muncul di dapur. Padahal, minggu ini Rena bertugas membereskan rumah, menyapu dan mengepel. Tugasnya itu sudah selesai sejak tadi. Sementara Winda minggu ini bertugas memasak dan mencuci piring. Hanya saja, hari ini Ibu kebetulan sedang membuat kue.
Tania asyik memakan potongan-potongan kecil kue bolu. Pipinya semakin bulat menggemaskan saat mengunyah. Rena membantu Ibu membungkus kue bolu yang akan diberikan pada Bibi Sekar.
“Rena, minta minum!” ujar Tania dengan nada perintahnya.
“Bukan Rena, Kak Rena, ya?” pinta Rena dengan manis. Rena heran karena hanya Rena yang dipanggil dengan nama saja, tanpa embel-embel ‘Kakak’. Sementara Winda dan Dhika jelas dipanggil kakak oleh Tania.
“Udah Rena, ambilkan minum buat Tania! Hal sepele gitu enggak usah dibesar-besarkan!” seru Ibu. Rena menurut dan mengambilkan minum untuk Tania yang langsung meminumnya tanpa mengucapkan terima kasih.
Begitulah bagaimana kehidupan sehari-hari Rena. Bagi kedua kakaknya, Rena selalu salah. Bagi adiknya, Rena bukan kakak yang layak dihormati. Ibu juga tidak pernah menegur Tania setiap kali bersikap menyebalkan pada Rena. Lain cerita jika Tania melakukannya pada Winda atau Dhika.
“Kak Dhika! Ambiln lagi kue bolunya!” seru Tania, memerintah lagi
“Tania! Yang sopan mintanya! Bilang tolong,” ucap Ibu tetap sambil mengamati kue bolunya. Memastikan bolunya tidak gagal dan layak dibagikan ke tetangga dan saudara.
“Maaf Kak Dhika, tolong ambilkan kue bolu lagi untuk Tania,” pinta Tania dengan manis.
“Iya, ini untuk adik Kak Dhika yang paling manis!” Dhika dengan cepat mengambil kue dan memberikannya pada Tania.
“Sudah, yang itu untuk Bibi Sekar. Cepat antarkan, ya!” perintah Ibu pada Rena. Rena mengangguk dan segera pergi dari rumah untuk mengantar kue yang masih hangat itu. Rumah Bibi Sekar tidak terlalu jauh dari rumah Rena.
Sesampainya disana, Bibi Sekar sedang mengelus seekor kucing. Rena bisa melihat kalau itu kucing liar. Kucing berwarna abu yang sangat manis dan lucu. Rena segera menghampiri Sekar karena penasaran dengan kucing itu.
“Bi, ini kucing Bibi? Lucu banget!” seru Rena sambil mengelus kepala kucing kecil itu. Sekar melambaikan tangannya seraya berkata, “bukan, Rena. Dia ini anak kucing yang ditinggal pergi induknya. Kasihan, enggak ada yang bantu dia.”
Rena menatap kucing itu dengan iba. Kasihan sekali, pikir Rena. Induknya mungkin saja pergi atau terjadi sesuatu hingga meninggalkan anaknya sendirian. Sementara Sekar melihat kotak kue yang dibawa Rena.
“Itu apa?” tanya Sekar penasaran. Pertanyaan dari Sekar membuat Rena tersentak. Baru ingat kalau kue bolu yang dibawanya itu diletakkan begitu saja di lantai. Buru-buru Rena mengambil kotak kue dan meletakkannya di meja teras.
“Ibu buat kue bolu. Rena disuruh antarkan ini buat Bibi.”
Sekar mengucapkan terima kasih seraya membawa masuk kue bolu yang masih hangat itu. Menikmati kue bolu dengan teh tawar pasti sangat cocok. Sekalian saja Rena dibuatkan, biasanya gadis itu akan banyak bicara saat makan kue.
“Betah sekolah di SMA Pelita?” tanya Sekar membuka pembicaraan.
“Betah kok, Bi. Teman-temannya baik, gurunya juga sama baiknya,” jawab Rena. Manik mata Rena tak lepas dari kucing kecil itu. Sekar memerhatikan Rena yang terus menatap kucingnya.