Anton hanya bisa mengamati Rena yang kini semakin pendiam. Kegiatan Rena setiap hari hanya bangun tidur, pergi sekolah, pulang dan mengerjakan tugas rumahnya. Setelah itu Rena mengurung diri di kamar. Mulanya Anton mengira itu karena Rena yang sudah mulai beranjak remaja, ia mulai punya dunianya sendiri dan butuh privasi. Tapi semakin hari Rena semakin mengisolasi diri.
Diamnya Rena membuat Anton khawatir. Hari ini ia berkunjung ke rumah Sekar tanpa sepengetahuan Lastri. Berharap mendapat jawaban atau setidaknya pencerahan. Tapi sejak Anton tiba, wajah Lastri sudah berubah masam.
“Kok malah tanya aku. Tanya sama diri kalian sendiri, apa sudah adil sama Rena? Kalian kan, orangtuanya. Kok malah tanya bibinya,” ucap Sekar sinis.
Masih terbayang oleh Sekar bagaimana Winda memfitnah Rena dihadapan keluarganya. Tapi Rena tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Winda bisa sesukanya berbohong dan menyudutkan Rena.
“Kalau ini masalah ulang tahun Winda kemarin, aku minta maaf, Mbak,” kata Anton, merasa tak enak karena kejadian itu terjadi saat Sekar ada disana.
“Gini ya, Ton. Anakmu itu yang satu bilang A, yang satu bilang B. Cerita mereka enggak sinkron. Kamu enggak mikir kalau yang satu berbohong? Kok enggak ditelusuri lebih jauh?”
“Itu kan acara ulang tahun Winda, Mbak. Aku rasa enggak mungkin Winda begitu sama adiknya. Waktu kemarin juga aku sudah capek, jadi ya aku anggap selesai saja dengan menasehati begitu.”
“Nah, ya itu. Itu masalahmu! Namanya punya anak, capek Ton! Kalau Rena benar, dia pasti sekarang ini merasa enggak didengar! Kamu juga membiarkan Winda jadi anak pembohong. Dia itu dari dulu, iri sama Rena!” ujar Sekar berapi-api. Geram sekali Sekar setiap mengingat kebohongan Winda.
“Tapi kalau Rena yang bohong? Gini, Mbak. Aku enggak mau harinya Winda rusak dengan aku menuduh Winda bohong. Aku juga enggak mau Rena sakit hati kalau aku bilang dia bohong.”
Sekar berdecak kesal. Rasanya sulit sekali memberitahu sepupunya itu. “Ck! Terserah! Kenyataannya, sekarang Rena jadi jarang bicara karena sakit hati! Kalau anak kamu salah, mau itu hari ulang tahun, hari kelulusan, hari pernikahan, atau hari apapun yang Istimewa, kamu harusnya tetap mendidiknya. Enggak usah takut merusak kebahagiaan anak! Apalagi anak lain jadi korban!”
Kepala Anton makin pening, tidak tahu siapa yang berbohong. Saat ulang tahun Winda, Rena pergi dua jam sebelum acara dimulai. Saat itu, Anton dan Lastri pergi mengambil kue ulang tahun dan perlengkapan lainnya yang belum siap. Sementara saat Anton bertanya pada Winda, putrinya itu menjawab kalau Rena pergi ke rumah Sekar untuk menginap.
“Rena itu enggak ada datang kesini bawa baju untuk nginep-nginep. Kalau dia benar mau menginap, seenggaknya pasti bawa baju ganti. Buka mata kamu, Ton! Jangan ikut-ikutan kayak Lastri!”
Sekar meninggalkan Anton yang diam terpaku di ruang tamu. Apa yang Sekar katakan ada benarnya. Seharusnya saat itu Anton bicara pada kedua putrinya dengan benar. Seharusnya Winda dan Rena dididik untuk saling menyayangi. Seharusnya Winda tidak perlu iri pada Rena. Seharusnya…
Begitu banyak kata seharusnya yang berputar dibenak Anton. Rasa bersalah semakin besar dalam dirinya. Ah lagi-lagi, seharusnya…