Hari ini adalah hari pembagian rapor untuk Winda, Rena dan Tania. Pagi-pagi mereka sudah bersiap untuk mengambil rapor ditemani orangtua mereka. Rena percaya diri karena ia sudah belajar dengan baik selama satu tahun ini. Nilai-nilai ulangannya pun diatas rata-rata meski tidak sempurna.
“Ibu ambil rapor Tania. Bapak bisa kan ambil rapor Winda?” tanya Ibu seraya memberikan sepiring nasi goreng untuk Bapak.
“Rapor Rena gimana, Bu?” tanya Rena spontan saat mendengar Ibu bicara begitu.
“Dhika enggak bisa ya. Ada kuliah pagi,” ucap Dhika sambil menyuap sesendok nasi goreng. Sebelum dimintai pertolongan, Dhika sudah lebih dulu menolak.
“Bapak ambil rapor Rena dulu, baru ke Winda. Gimana? Sekolah Rena kan lebih jauh,” usul Bapak.
“Ya ampun Pak, Ibu kan kemarin sudah bilang. Di sekolahnya Winda itu ada arahan dari kepala sekolahnya dulu sebelum bagi rapor. Jadi orangtua harus sudah datang dari pagi. Rena, bisa kan ambil sendiri?”
“Kemarin kata gurunya harus sama orangtua, Bu,” jawab Rena lirih. Selalu begini, Rena selalu menjadi yang terakhir.
“Bisa kali Renaaa. Kayaknya SMA Pelita enggak seribet SMA Harapan Bangsa, deh!” tambah Winda.
“Kalau begitu, Ibu saja ke sekolah Winda. Biar Bapak ke sekolah Rena dulu. Nanti Tania terakhir. Gimana?”
“Enggak bisa Bapak! Hari ini kan kenaikan kelas juga. Ada pemberian cenderamata untuk wali kelas Tania sekalian makan-makan. Semua ibu-ibu ikut acaranya. Udah, Rena nanti diambil sama Bapak aja kalau enggak bisa sendiri. Ya?”
Semua terdiam setelah Ibu membuat rencana. Tidak ada yang bisa membantah. Rena kembali melanjutkan makannya. Terpikir olehnya untuk meminta bantuan Bibi Sekar. Tapi Rena ragu, khawatir akan terlalu merepotkan bibinya itu.
Begitu selesai sarapan, Dhika langsung pergi menuju kampus. Sebenarnya ia tidak ada jadwal kuliah pagi ini. Hanya saja Dhika malas kalau harus mengambil rapor salah satu adiknya. Isinya disana hanya orangtua, dan Dhika akan sendirian tidak ada yang bisa diajak bicara.
Sementara Ibu sudah pergi dengan Tania. Sekolah Tania tidak terlalu jauh dari rumah. Berjalan kaki lima belas menit juga sudah sampai. Bapak membonceng Winda untuk pergi ke sekolah Winda setelah berjanji akan mengambilkan rapor Rena begitu selesai dengan sekolah Winda.
Rena berjalan kaki sendirian menuju pemberhentian angkutan umum. Saat hampir tiba disana, Rena bertemu dengan Sekar yang baru pulang berbelanja. Satu plastik putih berisi sayuran ada dalam genggamannya.
“Rena! Hari ini bagi rapor, ya? Mana Bapak? Enggak bareng?” tanya Sekar menyapa keponakan kesayangannya itu.
“Enggak, Bapak ambil rapor Kak Winda dulu katanya. Ibu ambil rapor Tania,” ucap Rena menjelaskan. Mendengarnya, Sekar berdecak sebal.
“Kenapa kamu enggak bilang? Padahal Bibi bisa bantu ambilkan.”