Lusa Rena berulang tahun yang ketujuh belas. Sesuai dengan tradisi keluarga mereka, ketika menginjak usia tujuh belas tahun, maka ulang tahunnya akan dirayakan. Begitu juga dengan Rena. Rena memilih tema warna merah muda untuk ulang tahunnya. Tak sabar rasanya akan mengundang teman-temannya. Meski tidak banyak, hanya dua puluh orang.
Rena sibuk menulisi kartu-kartu undangan dengan nama teman-temannya sembari ditemani Bapak di meja makan. Bapak ikut gembira melihat wajah Rena yang ceria. Sementara itu, Ibu sibuk menelepon katering untuk menyiapkan makanan yang akan disuguhkan di hari ulang tahun Rena.
“Rena, aku udah bantu sebar undangan! Udah ada lima belas orang yang aku undang!” seru Winda begitu sampai di rumah. Winda menarik kursi meja makan dan duduk berseberangan dengan Rena. Dahi Rena berkerut, ia tidak pernah meminta Winda untuk membantunya mengundang teman-temannya. Lagipula, kartu undangan jelas-jelas masih ada disini.
“Hah? Maksudnya Kak Winda? Memang Kak Winda kenal teman-temanku?” tanya Rena dengan raut wajah kebingungan.
“Kenal, mereka kan teman-temanku juga. Aku udah undang Sari, Hasri, Meilani, Anggi, terus siapa lagi tadi ya… oh, Devita, Priska…”
“Itu kan teman-teman sekelas Kak Winda waktu SMP!” ujar Rena gusar.
“Lah, ya benar kan, mereka juga teman kamu. Mereka satu kelas sama aku, tapi kan seangkatan sama kamu juga. Jadi mereka teman-teman kamu juga. Iya, kan? Tadi katanya kuotanya dua puluh orang, iya kan? Nah lima orang lagi, kamu bebas deh undang dari SMA Pelita!” kata Winda dengan senyum lebarnya.
“Winda! Ini ulang tahun Rena, seharusnya Rena yang pilih siapa temannya yang mau diundang!” tegur Bapak kesal.
“Ya ampun Pak, aku itu bantuin Rena, lho. Rena itu susah berteman dari dulu. Aku enggak yakin ada dua puluh temannya yang mau datang! Lagian, ulang tahun Rena dan aku juga kan berdekatan. Jadi anggap aja sekalian rayain ulang tahun aku juga. Gitu aja kok jadi masalah sih, Pak,” sungut Winda. Bapak menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan Winda.
“Bu! Ibu!”
Bapak memanggil Ibu, terpikir dalam benak Bapak untuk menambah lima belas orang lagi khusus untuk teman-teman Rena. Bapak heran dengan tingkah Winda yang semakin hari semakin menjadi pada Rena. Setiap Bapak menegurnya, Winda akan bersikap seperti itu bukan masalah besar.
“Bu, bisa tambah lima belas orang lagi? Si Winda ini, malah undang teman-teman SMP-nya!”
“Ya ampun, Pak. Ini aja Ibu udah repot lho minta tolong sama kateringnya. Lagian kalau nambah, itu berarti nambah biaya lagi, Pak!”
“Iya, tapi ini yang diundang bukan teman-temannya Rena, malah teman-temannya Winda!”
“Emang siapa sih yang kamu undang Win?” tanya Ibu gusar.
“Teman-teman SMP. Itu juga teman-teman Rena. Walaupun enggak dekat-dekat amat. Mereka udah janji bakal datang Bu,” ucap Winda dengan yakin.
“Tuh, itu juga teman-teman Rena. Udahlah Pak. Enggak usah jadi masalah. Ibu mau telpon orang yang bikin kue dulu ya!”
Rena meletakkan pulpen dan kartu undangannya. Semangatnya untuk menyambut hari ulang tahunnya sudah hilang. Seharusnya yang diundang adalah teman-teman Rena. Orang-orang yang dekat dengan Rena. Tapi Winda seenaknya saja mengundang orang-orang yang dekat dengannya, bukan dengan Rena. Rena bisa mendengar Bapak mengomeli Winda tentang masalah ini. Tapi Winda sibuk membela dirinya.
“Batalkan, batalkan undangan kamu itu!” perintah Bapak.
“Enggak mau! Nanti Winda jadi malu kalau tiba-tiba batalin undangan! Bapak ngerti enggak sih, Winda itu cuma bantu Rena!”