Belakangan ini ada yang berbeda dari Winda. Gadis itu jadi lebih periang dan ramah. Wajahnya selalu berseri-seri setiap pulang dari sekolah. Menurut Ibu, nilai-nilainya masih sama saja, jadi jelas wajahnya yang berseri itu bukan karena adanya prestasi.
Winda juga jadi lebih ramah pada Rena. Seolah kini ia sudah berhenti bersaing dengan Rena yang dulunya ia anggap musuh terbesarnya. Rena tentu saja bersyukur akan hal itu. Tapi sikap Winda yang tak biasa ini mengundang tanda tanya untuk orangtuanya, terutama Bapak.
“Ibu! Lihat, aku dapat surat cinta!” seru Winda saat makan siang bersama Ibu, Rena dan Tania.
“Mau lihat kak!” seru Tania yang turut semangat.
“Zaman sekarang masih ada yang ngasih surat cinta? Kayak zaman Bapak sama Ibu aja!” komentar Ibu, namun senyumnya tetap mengembang.
“Ada Bu. Namanya Aldo. Seangkatan sama aku. Orangnya ganteng!” seru Winda.
“Mana Kak? Ada fotonya?” tanya Rena ikut tertarik dengan percakapan ini. Tapi Winda justru memandang Rena dengan pandangan tak suka.
“Enggak akan aku kasih lihat sama kamu! Bisa-bisa diambil sama kamu, huh!”
Rena memutar bola matanya. Bagaimana bisa merebut, sekolah saja berbeda, pikir Rena. Tapi Rena tidak berkomentar lagi. Ia membiarkan Winda bercerita panjang lebar bagaimana tampan dan romantisnya Aldo. Cerita itu hanya ditanggapi dengan semangat oleh Ibu dan Tania.
“Rena enggak punya pacar, ya?” tanya Tania polos. Rena menggelengkan kepala sebagai jawabannya.
“Kenapa diam aja? Kamu iri ya, aku punya pacar? Terbukti dong berarti, aku lebih cantik! Hahaha!” ledek Winda. Rena memilih untuk tidak berkomentar. Hal seperti ini rasanya tidak perlu diperpanjang. Sebenarnya bukan karena tidak ada yang mendekati Rena, tapi tidak ada yang merebut hati Rena. Fokus Rena masih belajar, mengejar cita-cita menjadi seorang perawat.
Kabar itu tentu saja dengan cepat sampai ke telinga Bapak. Saat mendengar cerita itu, Bapak hanya diam mendengarkan. Hari-hari seperti inilah yang Bapak takutkan akan datang. Bapak merasa belum cukup mengajarkan kalau datangnya cinta selalu beriringan dengan patah hati. Bapak khawatir anak perempuannya belum siap menerima itu.
“Memang sudah pacaran? Resmi?” tanya Bapak dengan suara berat. Winda menganggukkan kepalanya, senyumnya mengembang sangat lebar.
“Selama ini diantar jemput?” tanya Bapak lagi.
“Iya Pak. Aldo tiap hari antar jemput Winda.”
“Bapak sama Ibu enggak pernah lihat. Dia enggak pernah antar ke rumah?”
Winda terdiam mendengar pertanyaan dari Ibu. Memang selama ini Aldo tidak pernah menjemput atau mengantarnya hingga tiba di rumah. Bukan karena ada masalah, tapi karena Winda tidak ingin.
“Besok lagi, kalau dijemput atau diantar, suruh sampai rumah. Bukan sampai gang,” ucap Bapak tenang. Winda sedikit cemberut, ia belum siap membawa Aldo ke rumahnya.
Tapi keputusan Bapak sudah bulat dan Winda tidak bisa membantah. Ada beberapa alasan ia belum ingin membawa Aldo ke rumahnya. Khawatir Bapak dan Ibu tidak menyukai Aldo. Atau mungkin Aldo yang jadi kurang menyukai keluarganya. Tapi alasan terbesar Winda tidak lain adalah Rena.
*
“Bapak maunya kamu antar jemput sampai rumah,” ucap Winda dengan manja saat menemui Aldo sepulang sekolah hari ini. Aldo sudah menunggu dengan motor sport di parkiran sekolah. Mendengar ucapan Winda, Aldo menyatukan kedua alisnya. Biasanya Winda tidak pernah meminta seperti ini.
“Memangnya orangtua kamu tahu kita pacaran?”
“Iya tahu. Makanya mereka mau kamu ke rumah antarnya.”
“Kita kan baru pacaran beberapa bulan. Kok pengen ketemu segala kayak mau nikah aja. Orang masih SMA,” tukas Aldo. Sedikit kesal karena sebelumnya ia tidak pernah diminta seperti itu.
“Ikutin aja lah maunya Bapak. Sekali-kali. Daripada nanti disuruh putus!”
Aldo menganggukkan kepalanya meski hatinya tak setuju. Winda menaiki motor dan diantar pulang oleh Aldo. Winda berharap Rena masih belum pulang. Ia tak ingin Aldo bertemu dengan Rena.
Rena sudah tiba lebih dulu dibandingkan Winda. Hari ini ekskulnya dibatalkan dan Rena memilih pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya yaitu membereskan rumah, menyapu dan mengepel. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, Rena menonton televisi. Sementara Ibu sedang membantu Tania mengerjakan PR.
Terdengar suara deru motor yang kemudian berhenti di depan rumah. Winda melesat masuk ke dalam rumah dan mendapati Rena yang sudah asyik menonton televisi. Buru-buru Winda mematikan televisinya dan berkata dengan suara pelan tapi memaksa, “Rena! Cepat masuk kamar!”
Rena terkejut dengan sikap Winda. Ibu juga melihat kelakuan tidak biasa dari putri sulungnya dan melongok keluar jendela. Aldo sedang memarkir motornya. Winda menarik tangan Rena dan menyuruhnya masuk ke kamar.
“Apaan sih Kak? Ada apa sih?” tanya Rena gusar sekaligus heran. Ia hanya sedang asyik menonton televisi.
“Udah, jangan banyak tanya! Kamu diam dulu di kamar!”
Rena tak bisa bertanya lagi karena Winda sudah menutup pintunya. Rena tidak punya pilihan lain selain duduk di kamarnya menunggu. Namun ia masih bisa mendengar suara percakapan dari balik pintu. Ada suara laki-laki terdengar disana.
Sementara itu Winda mengajak Aldo masuk. Aldo melepas sepatunya dan masuk ke dalam rumah. Winda terdengar mengenalkan Aldo pada Ibu.
“Oh ini ternyata pacarnya Winda,” ucap Ibu dengan ramah.
“Iya, Bu. Maaf baru sempat mampir sekarang,” ucap Aldo sambil duduk dan memerhatikan sekelilingnya. Ada sebuah foto keluarga disana.
“Adik kamu dua ya Win?” tanya Aldo setelah melihat foto itu.
“Iya, Nak Aldo. Winda ini anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya namanya Dhika. Dia lagi kuliah. Belum pulang. Ini adiknya, Tania. Yang satu lagi namanya Rena,” ujar Ibu mengenalkan keluarganya.
“Halo Kak, aku Tania,” ucap Tania sambil tersenyum lebar. Ia memamerkan senyum termanisnya pada Aldo.
“Oh ini Tania. Kalau Rena belum pulang? Enggak satu sekolah ya sama kita?” tanya Aldo. Pertanyaan basa-basi itu membuat Winda cemberut. Ia tak suka Aldo bertanya tentang Rena.