Sayangku, Rena

Yusrina Imaniar
Chapter #14

Mimpi Rena

Rena termenung sembari menatap daftar jurusan yang ia pegang. Dirinya masih tidak tahu harus mendaftar jurusan apa selain keperawatan. Terpikir oleh Rena untuk mendaftar jurusan yang sama tapi di universitas yang berbeda. Hanya saja Rena sudah lama bermimpi untuk masuk Universitas Merah Putih. Universitas itu berada di kotanya meski cukup jauh dari rumah.

Fakultas Keperawatan Universitas Merah Putih juga termasuk yang terbaik. Rena sangat ingin kuliah disana. Jadi sejak awal ia tidak pernah terpikir universitas atau jurusan yang lain. Saat sedang kebingungan begitu, Bapak dan Ibu yang baru pulang membeli martabak melihatnya.

“Kenapa? Kok mukanya kayak gitu sih Ren,” tegur Ibu sambil mengambil piring dan mangkuk kecil untuk acar martabak telur.

“Ini Bu, katanya kalau bisa Rena cari jurusan selain keperawatan. Tapi Rena bingung mau ambil apa,” cerita Rena. Bapak mengelus kepala putrinya agar bisa meringankan beban pikiran Rena.

“Yaa ambil yang kamu suka aja. Kalau bisa jangan ke jurusan-jurusan kesehatan lah. Biayanya mahal Rena. Tahun ini kan Bapak dan Ibu harus menguliahkan kamu dan Winda.”

“Bu!” tegur Bapak, khawatir Rena jadi kecil hati. Mendengar teguran Bapak, Ibu hanya mengangkat bahu.

“Ambil saja yang Rena suka ya? Coba dulu saja, siapa tahu masuk,” saran Bapak.

“Iya kalau masuk mau biayain dari mana? Jangan egois, Ren. Kakak kamu juga harus kuliah.”

Kepala Rena tertunduk. Apakah kali ini mimpinya juga dicap egois? Rena hanya ingin mewujudkan mimpinya menjadi seorang perawat. Sejak kecil ia suka melihat perawat yang cantik, cerdas, baik hati dan juga ramah. Rena ingin tumbuh dewasa seperti itu. Perawat yang Rena lihat selalu tulus.

“Bapak akan usahakan. Rena cukup fokus belajar. Jangan mikirin biaya,” ucap Bapak dengan senyum mengembang di wajahnya. Senyuman itu selalu berhasil membuat Rena merasa tenang.

Rena akhirnya masuk kamar dengan napas lega. Ia tidak akan mencoba jurusan lain untuk seleksi masuk melalui jalur prestasi. Tapi nanti, jika tidak diterima melalui jalur prestasi, Rena baru akan memikirkan jurusan yang lain.

Bapak bilang padanya untuk mengejar mimpi. Rena berjanji akan melakukannya dan membuat kedua orangtuanya bangga. Rena yakin kalau mimpinya tidak egois. Dia berhak punya mimpi.

*

Hari ini pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur prestasi. Rena sudah merasa gugup sejak bangun tidur. Berbeda dengan Winda, ia memang sudah yakin tidak akan diterima, jadi sejak pagi sudah sibuk menonton televisi. Rena berulangkali mengecek apakah sudah ada pengumuman. Hampir setiap menit ia memuat ulang halaman pengumuman di layar komputer.

Winda menatapnya geram. Lama-lama ia kesal melihat kegelisahan Rena. Sambil memakan kacang telur ia melirik Rena yang terus memuat ulang halaman pengumuman.

“Kamu itu niatnya pamer ya? Mentang-mentang dapat jatah untuk daftar jalur prestasi!” seru Winda sebal. Rena bersikap masa bodoh, ia sudah terbiasa dengan sikap Winda. Bapak sedang minum kopi di teras, diam-diam sama gugupnya dengan Rena.

Ketika Rena memuat ulang, akhirnya halaman pengumuman sudah siap memberikan hasil. Rena memasukkan nomor pendaftarannya dan menunggu. Setiap detiknya membuat jantung Rena berdegup lebih cepat, perutnya terasa seperti jumpalitan. Hingga akhirnya halaman itu selesai memuat nama Rena dengan tulisan ‘Selamat, Anda Diterima’.

Rena memekik girang. Ia berhasil masuk fakultas keperawatan Universitas Merah Putih. Mata Rena memerah dan menangis bahagia. Mimpinya terwujud, ia akan segera menjadi mahasiswa di jurusan yang ia impikan.

Mendengar pekikan senang Rena membuat Bapak terlonjak. Dengan cepat Bapak berlari menemui Rena yang sudah ditemani Ibu. Wajah Ibu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada guratan senang tapi juga sedih dan bingung dalam waktu yang sama. Tapi Ibu tetap memeluk dan mengucapkan selamat untuk Rena.

“Paaak! Rena masuk, Pak! Rena akan jadi perawat!” seru Rena sambil menghambur ke pelukan Bapak. Bapak turut bahagia, dibelai rambut Rena dengan kasih sayang. Sementara itu Winda memilih masuk ke dalam kamar, disusul oleh Ibu yang khawatir melihat Winda.

Sementara Rena dan Bapak berselebrasi, Winda menangis dalam kamar. Ibu memeluk dan menenangkan Winda. Satu hal yang Winda rasakan kini, iri. Ia iri dengan kebahagiaan Rena. Kenapa Rena begitu pintar sementara dirinya tidak?

“Kenapa sih Rena enak banget, Bu? Rena bisa dapat semua yang Rena mau dengan mudah. Winda enggak. Winda harus usaha dan hasilnya enggak ada!” isak Winda dalam tangisan Ibu.

“Kata siapa? Winda juga pasti bisa. Ibu sama Bapak janji akan menguliahkan kalian berdua,” hibur Ibu. Winda menggelengkan kepalanya tak percaya.

Lihat selengkapnya