Rena tidak pernah berpikir kalau berjalan dalam hidup setelah mimpi yang sudah digenggam kandas itu sulit. Semangatnya untuk belajar seolah hilang. Padahal seharusnya Rena tinggal menunggu tanggal masuk kuliah, tapi kini ia harus belajar lagi untuk mempersiapkan ujian masuk.
Rena sendiri masih tidak tahu mau mengambil jurusan apa, universitas apa. Ciut nyalinya jika mencoba ke Universitas Merah Putih. Rena yakin ia akan terus terbayang dan merasa iri jika kuliah disana tapi bukan jurusan keperawatan.
Sejak Rena memutuskan untuk melepas mimpinya, Rena semakin jarang bicara. Begitu juga dengan Bapak. Rena tidak berharap Bapak akan memberinya peluang, tapi melihat sikap diam Bapak, Rena merasa semakin sendirian. Meski jauh dalam hatinya Rena paham kalau itu adalah bentuk rasa bersalah Bapak.
“Sudah, coba saja Universitas Pahlawan. Memang sih jauh. Tapi yang Ibu dengar, biaya kuliah disana tidak terlalu mahal. Biaya hidupnya juga murah. Itu juga kan masih universitas negeri,” ucap Ibu memberi saran saat Rena mengeluhkan tidak tahu universitas tujuannya.
“Kalau enggak masuk gimana Bu?”
Tangan Ibu berhenti mengaduk adonan kue saat Rena bertanya begitu. Matanya melotot dan wajahnya menjadi masam. Ibu mendengus dan berkata, “ya sudah kalau begitu jangan kuliah! Ibu dan Bapak enggak ada biaya kalau kamu enggak masuk universitas negeri!”
Rena menelan ludah. Ucapan Ibu memang sesuai dugaannya, tapi tetap saja menyakitkan. Mungkin karena Winda dibebaskan untuk masuk universitas swasta, bahkan sebelum mencoba ujian masuk universitas negeri. Sementara Rena harus berjuang dua kali hanya untuk kuliah.
“Ambil jurusan manajemen saja. Banyak yang butuh lulusan itu,” ucap Dhika saat keluar dari kamar. Ia sudah mendengar semua percakapan Rena dan Ibu.
Rena menggigit bibir. Ia tidak terlalu menyukai jurusan itu. Ia juga tidak suka universitas yang Ibu pilihkan. Lokasinya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Butuh waktu perjalanan tujuh jam dengan kereta untuk kuliah disana. Rena ragu karena ia ingin bisa terus dekat dengan keluarganya.
“Universitas Pahlawan lumayan bagus kok Ren. Enggak apa-apa lah kuliah disana. Biar lebih mandiri juga,” nasehat Dhika sambil mencomot roti cokelat di piring.
“Itu bukan cita-cita Rena, Kak,” sungut Rena. Masih dongkol hatinya setiap mengingat kesempatan yang ia lepas. Mendengar ucapan Rena, Ibu menjadi naik pitam.
“Astaga, Rena! Kamu ini kerjanya mengeluh terus! Kamu maunya gimana? Mau Bapak sama Ibu jadi ngutang karena kamu? Kamu bisa bantu bayarnya hah? Bapak sama Ibu ini pusing ya dengar kamu mengeluh terus! Sudah, masuk saja sana ke jurusan mimpi kamu itu! Biar Bapak sama Ibu jadi gelandangan! Dasar anak durhaka!”
Rena terdiam dan masuk kamar. Selama ini ia sudah menuruti semua keinginan Ibu. Apakah tidak boleh Rena protes? Semua usaha dan kerja kerasnya seharusnya membuahkan hasil yang membahagiakan. Tapi kenapa kebahagiaan itu diambil oleh orang-orang terdekatnya?
*
Besok adalah hari ujian masuk universitas negeri. Tapi alih-alih belajar, Rena justru duduk di teras sambil memainkan ponselnya. Semangatnya sudah hilang, ia sudah tidak peduli lagi masalah kuliah. Jika memang masuk, Rena akan menjalaninya. Tapi jika tidak, Rena juga tidak akan memaksakan.
Ibu sibuk bicara dengan tetangga, membanggakan Winda yang sudah masuk Universitas Cipta Bangsa dengan biaya mahal. Hati Rena semakin tergores karena Ibu bahkan tidak bangga padanya yang sudah susah payah belajar mati-matian setiap hari agar dapat masuk jalur prestasi. Winda menolak keras permintaan Bapak untuk mengambil ujian masuk universitas negeri. Ibu tentu saja berada dipihak Winda.
“Rena, kamu enggak belajar?” Bapak keluar rumah, mendapati Rena yang sibuk bermain ponsel. Rena menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Melihat kondisi Rena, Bapak semakin merasa bersalah. Rasanya ia malu karena tidak mampu tegas pada keluarganya sendiri.