Sayangku, Rena

Yusrina Imaniar
Chapter #16

Menyerah

Rena sudah merapikan barang yang akan ia bawa ke kota perantauan. Hari ini Rena akan berangkat kesana untuk mulai kuliah. Satu bulan yang lalu setelah pengumuman penerimaannya, Bapak sibuk mencarikan Rena tempat tinggal dan juga barang-barang yang Rena perlukan disana. Bapak yang mengurus semuanya hingga sekarang Rena tinggal menempatinya.

Tidak hanya Rena yang bersiap pindah, Tania juga sama. Barang-barangnya sudah mulai masuk memenuhi kamar Rena. Tania bahkan merengek untuk mengganti warna cat dinding kamar Rena menjadi warna biru muda kesukaannya.

Rena berusaha sekuat tenaga untuk menambah semangat dan motivasi dalam dirinya, tapi itu semua sia-sia. Percakapan antara Ibu, Winda dan Tania terus terputar dalam pikirannya dan semakin lama itu semakin menyakitkan. Rupanya benar, kalau dirinya bukanlah anak yang Ibu harapkan ada di dunia.

“Rena, kamu sudah siap? Bapak sama Ibu sudah siap itu mau mengantar kamu. Cepat siap-siapnya, nanti kamu terlalu siang perginya!” seru Winda dari luar kamarnya.

Bahkan ucapan yang mengandung perhatian itu tak terasa tulus lagi ditelinga Rena. Winda tidak menyembunyikan rasa bahagianya melihat Rena pergi dari rumah untuk berkuliah. Rena beranjak dari ranjang dan menyeret kopernya keluar kamar. Dipandanginya kamar yang menjadi miliknya selama tujuh belas tahun untuk terakhir kali. Rena yakin saat ia kembali, kamar ini sudah tidak sama lagi.

Rena diantar oleh Bapak dan Ibu menuju stasiun kereta. Ibu tidak memedulikan wajah Rena yang muram. Wajah Ibu diliputi kebahagiaan, entah karena akan melihat anaknya kuliah, atau karena Rena akan meninggalkan rumah untuk waktu yang lama.

“Rena, disana kamu harus baik-baik, ya. Jangan boros. Kamu enggak perlu sering-sering pulang. Ongkosnya mahal. Belajar mandiri ya,” ucap Ibu mulai menasehatinya. Rena hanya menganggukkan kepalanya tanpa ekspresi.

“Bu, sudahlah. Kalau Rena mau pulang, pulang ya. Enggak usah mikirin ongkos. Nanti Bapak kirim uang lebih kalau Rena mau pulang,” ujar Bapak sambil membelai rambut Rena.

“Pak! Sudah Ibu bilang, jangan terlalu memanjakan Rena! Kalau dia sering pulang juga nanti dia bingung tidur dimana. Kamarnya sekarang kan dipakai Tania.”

Rena berusaha sekuat tenaga tidak mendengarkan perdebatan orangtuanya. Rena sudah tak peduli. Rumah itu terasa bukan lagi rumahnya sejak mendengar percakapan menyakitkan itu.

“Pak, Bu, Rena berangkat dulu. Doakan Rena ya, supaya kuliahnya lancar,” ucap Rena setelah mendengar informasi yang diumumkan melalui pengeras suara kalau keretanya sudah tiba.

“Iya, hati-hati ya Rena. Kabari kalau sudah sampai!” pesan Ibu padanya.

Rena melangkahkan kaki menuju keretanya. Rena melihat ke belakang sekali lagi, Bapak dan Ibu melambaikan tangan padanya untuk berpisah. Tidak sulit untuk Rena mencari gerbong dan juga nomor kursinya. Rena duduk dalam kereta yang akan membawanya jauh dari keluarganya.

Mungkin lebih baik begini, pikir Rena dalam hati. Lebih baik tinggal jauh dari keluarganya dibanding dekat namun tidak dianggap. Kadang rumah bukanlah rumah jika tak ditemukan kenyamanan dan keamanan saat tinggal disana.

*

Lima tahun kemudian…

Waktu berlalu terasa begitu cepat, hingga akhirnya Rena lulus kuliah dan mulai bekerja. Selama kuliah Rena hanya pulang dua kali setiap tahun. Selain karena untuk menghemat, Rena juga tidak ingin terlalu lama bersama Ibu dan saudaranya. Dirinya sudah menyerah untuk berusaha mendapatkan cinta mereka.

Lihat selengkapnya