Sayangku, Rena

Yusrina Imaniar
Chapter #17

Meminta Kembali

Sejak memiliki motor sendiri, Rena bisa dengan mudah pulang ke rumah orangtuanya. Setiap ia merindukan Bapak, Rena bisa pulang dan menginap walaupun hanya semalam. Akhir minggu ini Rena memutuskan untuk pulang lagi ke rumah. Rena pikir sekarang rumah sudah jauh lebih baik. Setelah Bapak menunjukkan ketegasan, Ibu dan saudara perempuannya tidak lagi mengganggunya. Ibu terlihat jelas berusaha bersikap sama antara Rena, Winda dan Tania.

Setibanya di rumah, Rena langsung memarkir motornya. Rumah terlihat sepi, tidak seperti biasanya. Tapi mungkin karena ini Sabtu pagi, pikir Rena. Semua orang biasanya beristirahat saat libur seperti ini.

“Assalamualaikum!” Rena masuk rumah sembari mengucap salam. Tapi benar, rumah terasa sepi. Hanya ada Ibu yang sedang menonton televisi dan menjawab salam Rena.

“Bapak kemana, Bu?” tanya Rena saat menyadari kalau Ibu sendirian di rumah.

“Bapak pergi sama Tania. Tania ada perlu beli seragam. Kalau Winda, pergi sama pacarnya,” jawab Ibu sekenanya. Rena duduk dekat Ibu dan menonton televisi bersama, sekaligus meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit pegal karena perjalanan.

Ibu menatap Rena yang terlihat senang karena pulang. Sekarang ini wajah Rena jarang terlihat muram. Ibu menarik napas panjang, sejak kemarin ada yang ingin Ibu bicarakan dengan Rena, namun Ibu tidak tahu kapan harus mulai bicara. “Ren, Ibu mau bicara.” Ibu akhirnya memulai pembicaraan. Rena mengubah posisi duduknya, terlihat siap mendengarkan.

“Uang yang Bapak kasih sama kamu untuk motor, kapan mau kamu kembalikan ke Ibu?”

Pertanyaan Ibu bagai petir di siang bolong untuk Rena. Rena yakin telinganya tidak salah mendengar kalau Bapak memberikan uang itu padanya, bukan sebagai pinjaman. “Maksud Ibu? Bapak kan kasih uang itu untuk Rena, Bu.”

Ibu tertawa sejenak, “iya tapi kalau kamu mau tahu, Bapak kasih uang itu tanpa bilang sama Ibu lebih dulu. Gini ya Rena, Ibu bertahun-tahun menikah sama Bapak, belum pernah dikasih uang tunai sebanyak itu. Menurut kamu, kalau Bapak punya uang sebesar itu, siapa yang lebih berhak? Ibu atau kamu? Ibu juga mau menikmati uang itu, Rena!”

Rena termangu mendengar ucapan Ibu. Rasanya ingin berontak, ingin marah tapi tak bisa. “Tapi Bu, Rena enggak punya uang sebanyak itu sekarang,” ucap Rena pelan. Ibu menatapnya tajam.

“Ya terserah kamu Ren mau bayar kapan. Pokoknya Ibu mau uangnya kembali. Mau dicicil atau bagaimana, terserah. Kamu enggak usah ngadu ke Bapak! Bayar aja ke Ibu!”

Ibu beranjak dari sofa dan masuk ke kamarnya, meninggalkan Rena sendirian, bertopang dagu di depan televisi. Rena pikir, Ibu setuju dan ikhlas memberinya uang bersama Bapak. Tapi rupanya tidak. Baru sebulan Rena memiliki motor itu, kini ia sudah dikejar hutang.

Rena berusaha menahan air matanya. Percuma menangis, Ibu hanya akan semakin marah dan memakinya. Menyebutnya cengeng atau manja. Ah, rupanya harapan ia dianggap anak Ibu hanya sekedar mimpi belaka. Ibu tidak pernah mencintainya.

*

“Iya, Bu. Nanti Rena usahakan. Sekarang baru terkumpul sedikit uangnya.”

Rena menelepon Ibu sambil berjalan keluar dari kantornya untuk makan siang. Sejak perbincangan terakhir mereka tentang uang sepuluh juta, Ibu terus meneleponnya nyaris setiap hari, untuk bertanya kapan Rena siap mengembalikan uang tersebut.

“Iya, secepatnya ya Ren. Ibu mau pakai!” terdengar suara Ibu dari ujung sambungan telepon. Rena hanya mengiyakan dan Ibu lekas-lekas memutus teleponnya.

Rena bimbang, ada keinginan dalam dirinya untuk bicara pada Bapak. Tapi disisi lain, jika Rena mengadu, Ibu akan semakin marah padanya. Jika Ibu marah, Dhika, Winda dan Tania juga akan memusuhinya. Rena tidak melakukan apapun saja, selalu salah bagi mereka.

Tabungannya ada sepuluh juta, tapi jika diberikan pada Ibu maka Rena tidak memiliki simpanan sama sekali. Jika Rena menjual motornya, Bapak pasti bertanya. Pilihan terbaik adalah membayar sebagian pada Ibu dan menyicil sisanya. Tapi Rena harus siap mendengar telepon Ibu yang akan terus menagihnya.

“Mbak Rena! Mbak, awas Mbak!”

Pikiran Rena yang bising dan berkecamuk itu membuatnya kehilangan fokus. Rena terus berjalan untuk menyeberang jalan tanpa melihat kiri dan kanan. Teriakan satpam kantor yang mencoba mengingatkannya pun tak terdengar. Suara decit kendaraan yang mengerem mendadak terdengar nyaring. Tapi sebuah mobil tidak sempat mengerem dengan benar, menabrak tubuh mungil Rena.

Rena terkejut saat mendapati dirinya sudah ada diatas aspal yang panas terbakar matahari. Orang-orang yang mengerubunginya bertanya keadaannya. Suara yang bising itu membuat kepalanya pusing. Kenapa semua orang bertanya padanya? Mata Rena terasa berkunang-kunang, semuanya terdengar sangat ribut. Rasanya ingin tidur, pikir Rena. Tanpa disadari, Rena jatuh pingsan.

Lihat selengkapnya