Rasanya Rena ingin mematikan ponselnya. Baru tiga hari ia kembali bekerja, tapi rasanya ia ingin kembali ke rumah saja. Bukan hanya karena khawatir dengan Bapak dan Ibu, tapi Rena lelah menghadapi saudara-saudaranya yang terus bertanya padanya. Bahkan tidak jarang ketiga saudaranya itu menyindir lewat grup WhatsApp.
Kak Dhika : [Bibi Sekar sudah mulai enggak enak badan, tuh. Kalian enggak ada yang bisa gantiin?]
Kak Winda : [Jangan tanya aku. Aku tiap hari ya udah urusin Bapak sama Ibu!]
Tania : [Besok aku baru balik. Tapi emangnya seberat itu ya ngurus Bapak sama Ibu? Duh Bi Sekar aja capek, apalagi aku. Huhu]
Kak Winda : [Enak ya, diantara kita ada yang lepas tangan, enggak perlu mikirin ngurus orangtua!]
Kak Dhika : [Kalian harus ngerti, dong. Aku juga kerja buat biayain Bapak sama Ibu. Aku sampai ambil lembur hanya demi dapat gaji lebih. Kalian lah yang cewek-cewek urus Bapak sama Ibu!]
Rena : [Iya kak, aku nanti kesana kalau lagi libur. Kemarin aku cuti lama, jadi enggak enak sama kantor kalau keseringan bolos kerja. Gimana kalau aku transfer uangnya sama Tania ya supaya bisa hire perawat, gimana? Jadi ada yang bantu urus Bapak sama Ibu. Kak Winda sama Tania juga enggak akan terlalu capek.]
Kak Winda : [Mentang-mentang punya banyak duit, bisa seenaknya mangkir dari ngurus Bapak sama Ibu!!]
Tania : [Ya udah, cepat transfer Rena!]
Rena memijat pelipis kepalanya. Lagi-lagi ia tersudut. Dikirimkannya uang pada Tania dan mengirim buktinya lewat chat pribadi. Tania hanya membacanya tanpa membalas pesannya. Itu sudah biasa. Tania memang masih kuliah, kampusnya juga cukup jauh dari rumah. Sementara Winda masih tinggal di rumah Bapak dan Ibu. Dhika, meski sudah menikah, ia mengontrak rumah yang tak jauh dari Bapak dan Ibu. Istrinya keberatan jika harus pindah rumah dan mengurus orangtua Dhika.
“Ren! Kamu kenapa sih? Khawatir sama orangtua kamu ya? Daritadi muka kamu itu mumeeet, terus!” tegur Meila, teman satu kantornya sekaligus senior Rena.
“Iya Mbak. Aku bingung,” ucap Rena. Rena menceritakan kesulitannya pada Meila. Dari semua orang di kantornya, hanya Meila yang ia percaya.
“Gimana kalau Bapak sama Ibumu kamu bawa aja kesini Ren? Gini, orangtuaku punya rumah yang enggak dipakai. Kondisinya bagus kok, dan enggak jauh dari kantor. Kamu bisa ngontrak disana. Aku akan bujuk supaya kamu dikasih harga murah, biar enggak terlalu berat. Gimana?”
“Tapi yang ngurus selama aku kerja gimana Kak? Terus, gimana caranya orangtuaku bisa pindah kesini? Mereka…” ucap Rena ragu. Meila langsung paham permasalahannya adalah karena Ibu Rena lumpuh dan kondisi Bapak yang sulit untuk bangun.
“Bisa sewa ambulans. Atau mobil yang agak besar. Orangtua kamu enggak mungkin naik bus lah. Buat yang ngurus mereka selama disini, kita bisa cari perawat atau orang yang bisa bantu ngurus. Tenang aja Ren, aku pasti bantu kamu, kok!”
Rena bagai disiram air dingin oleh Meila. Ia merasa menemukan titik terang. Benar juga, dibanding ia harus merasa tersudut dengan ketiga saudaranya yang merasa repot mengurus orangtuanya, lebih baik jika Rena membawa orangtuanya pindah kemari. Mungkin dengan begitu, semua orang akan senang. Orangtua terurus, saudaranya tidak kerepotan, dan Rena tidak terpojokkan. Ini adalah solusi yang terbaik, pikir Rena.
*
Tania menggigit bibir, ia bingung dengan situasi saat ini. Saat tiba di rumah, Winda pergi bekerja dan Tania hanya mendapati Sekar yang duduk lemas karena demam, Ibu yang menangis karena ingin berganti diaper, diapernya sudah mengeluarkan bau yang tidak enak, dan Bapak yang terus berkata lapar tanpa suara jelas.
Belum lagi kondisi rumah yang sangat berantakan. Tania merasa ada di kandang sapi, bukan rumah. Padahal biasanya saat pulang, Tania selalu disambut dengan rumah yang bersih, kamarnya yang nyaman, dan makanan hangat di meja makan.
“Bi, Bi Sekar! Bantu Tania dong!” Tania mengguncang tubuh Bibinya, berusaha meminta bantuan.
“Aduh Tania… Bibi enggak kuat. Bibi lemas banget ini,” keluh Sekar sambil memejamkan matanya. Tania sangat gusar. Ia mengambil ponselnya. Sekarang saatnya mengeluhkan kondisi pada semua saudaranya.
Tania : [Woy, siapapun bisa pulang sekarang enggak?! Aku mau gila ini!]
Abangku Dhika : [Kenapa?]
Tania : [Rumah berantakan banget! @Kakakku Winda, tadi pagi enggak beresin rumah?]