Buntut pertengkaran Rena, Winda dan Tania akhirnya berujung dengan Dhika yang mengumpulkan semua adik perempuannya itu. Saat mendengar Winda dan Tania mengadukan Rena padanya, Dhika pikir sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan pertengkaran antara mereka. Harus ada kesepakatan setelah ini.
“Jadi kalian sakit, dan minta Rena untuk jaga Bapak dan Ibu. Tapi Rena malah marah?” tanya Dhika memastikan. Rena mengangkat alisnya, ia marah bukan karena diminta menjaga Bapak dan Ibu.
“Iya, Rena malah melotot sama aku dan Tania. Padahal selama ini, aku sama Tania yang kerepotan jaga Bapak dan Ibu!” ujar Winda dengan nada kesal.
“Kak, aku bukan marah karena diminta menjaga Bapak dan Ibu, aku marah karena kalian malah pergi jalan-jalan dan reuni. Padahal aku…”
“Cukup, Rena. Kamu lain kali enggak perlu marah sama Winda dan Tania. Mereka yang lebih berjasa pada Bapak dan Ibu. Sudah, kamu minta maaf sama Winda dan Tania. Wajar mereka pergi jalan-jalan. Mereka juga butuh refreshing. Yang punya hidup bukan cuma kamu!” tukas Dhika memotong penjelasan Rena.
Rena diam, ia sudah merasa malas membalas saudara-saudaranya. Mereka tidak akan mengerti dan sejak awal tidak ada yang membelanya. Rena memutuskan berhenti mendebat, karena tidak ada gunanya. Sementara itu, Winda dan Tania sama-sama tersenyum puas menyadari Dhika membela mereka.
“Sekarang masalahnya, bagaimana kita harus jaga Bapak dan Ibu. Itu yang paling penting,” ucap Dhika lagi.
“Aku sudah pernah mengusulkan pakai perawat. Bapak sama Ibu ada yang urus dan kita tinggal mengawasi,” kata Rena. Lagi-lagi masalah ini, pikir Rena.
Winda menghembuskan napas kasar, ia tidak pernah menyukai ide yang diberikan oleh Rena. Menurutnya itu hanya pemborosan. “Kamu pikir bayar perawat itu murah? Belum lagi gimana kalau perawatnya enggak jujur? Suka mencuri? Kamu enggak mikir kesitu, Ren?” semprot Winda.
“Aku sebentar lagi kuliah, kan. Aku enggak sempat kalau harus jaga Bapak dan Ibu,” giliran Tania yang bersuara.
“Bibi Sekar juga sudah terlalu tua, pasti repot dan capek kalau harus urus Bapak dan Ibu juga.”
Keempat saudara itu terdiam untuk waktu yang cukup lama. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Semua ide pemberian Rena selalu menjadi mentah. Entah itu ide bantuan perawat atau membawa Bapak dan Ibu ke kota tempatnya bekerja. Semuanya gagal dan dianggap tidak berguna.
“Ren, kamu resign aja, gimana?” tiba-tiba Winda memberikan usulan dengan wajah cerah seolah menemukan ide cemerlang.
Rena terkejut mendengar ide itu. Rena sangat sulit mendapatkan pekerjaannya kini. Meski bukan cita-citanya, Rena selalu berusaha mengerjakan segala sesuatunya dengan baik. Gajinya juga cukup lumayan. Ide resign ini membuat Rena kesal.
“Kak, aku dapat kerjanya susah. Uang hasil aku kerja juga aku kasih sebagian sama Bapak dan Ibu. Aku usahakan setiap akhir minggu untuk bantu jaga Bapak dan Ibu. Tapi tolong jangan suruh aku resign,” pinta Rena.
Winda memutar bola matanya, “Ren, sumpah kamu ini benar-benar egois. Aku juga kerja, Kak Dhika juga sama. Gimana bisa kamu cuma memikirkan diri kamu sendiri? Lagian, kamu jarang urus Bapak dan Ibu.”