Sejak kejadian itu Ibu menjadi jarang bicara. Ponsel Ibu semakin jarang berdering dan Ibu juga jarang menggunakannya. Karena percuma, anak-anaknya tidak pernah menghubunginya lagi. Cap sebagai Ibu yang pilih kasih terus membekas dalam benaknya.
Bapak juga, berhenti membahas Winda dan Tania. Menyebut nama mereka saja tidak pernah, karena khawatir Ibu semakin terluka. Bapak juga masih menyimpan rasa sakit hati yang cukup dalam. Sementara Rena, tetap berusaha mengurus Bapak dan Ibu sebaik mungkin. Hanya itu yang bisa ia lakukan kini.
Rena mendorong kursi roda Ibu menuju teras rumah. Rena berharap cahaya matahari yang hangat dan angin pagi yang segar bisa membuat Ibu lebih nyaman dan menyegarkan pikiran. Ibu melamun lama, seolah berpikir banyak hal.
“Rena,” panggil Ibu tiba-tiba. Rena duduk di kursi yang ada disisi kursi roda Ibu.
“Kamu bisa cari pekerjaan lagi dari sekarang. Dhika bilang, dia sudah dapat pembantu yang bisa merawat Ibu. Namanya Nisa,” ucap Ibu pelan. Rena menatap Ibu tak percaya. Benarkah Ibu mau dirawat oleh pembantu yang merupakan orang asing?
“Bu, apa dirawat sama Rena itu bikin Ibu enggak enak? Rena kurang ya dalam merawat Ibu?” tanya Rena dengan suara tercekat. Pertanyaan itu membuat Ibu menoleh, menatap Rena yang menunduk.
Seumur hidupnya, Ibu tidak pernah memperkerjakan orang lain. Pembantu sekali pun. Ibu tidak menyukai adanya orang asing dalam rumahnya. Bahkan Rena masih ingat ide Rena untuk membawa Bapak dan Ibu ke kota tempatnya bekerja dan menyewa perawat membuat Ibu marah.
“Apa Ibu sebenci itu sama Rena? Kenapa Ibu terus menolak bantuan Rena? Ibu enggak mau dibawa ke kota tempat Rena kerja. Ibu juga dulu marah dan maunya diurus sama Kak Winda dan Tania. Salah Rena apa?” tanya Rena lagi. Rena menghela napas dalam sebelum melanjutkan. Sialnya, menarik napas saja sudah sakit.
“Rena mau merawat Bapak sama Ibu, Rena rela. Rena ikhlas. Rena…” ucapan Rena terputus, air mata mengalir deras.
Ibu menatap langit, tidak tahan melihat air mata Rena. “Ibu sudah salah, Rena. Bertahun-tahun Ibu salah. Berapa banyak makian dan pukulan yang kamu terima dari Ibu? Tapi sekarang justru kamu yang merawat Ibu. Menurut kamu, apa Ibu enggak malu? Ibu malu, Rena. Ibu malu sama kamu, malu sama Bapak. Bahkan Ibu malu sama Tuhan!”