Bulan demi bulan berlalu, Rena merawat Bapak dan Ibu tanpa mengeluh. Kini, Bapak sudah mulai bisa beraktivitas ringan. Bisa berjalan meski langkah kakinya terseok dan pelan. Sementara Ibu tidak menunjukkan perkembangan secara fisik, masih tetap bergantung dengan kursi rodanya. Namun kini Ibu tidak lagi bersikap ketus pada Rena. Hanya Dhika yang masih rutin menjenguk Bapak dan Ibu. Winda dan Tania sudah tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Sekar juga masih rajin menengok Bapak dan Ibu.
Hari ini seperti biasa, Rena menyiapkan makanan untuk Bapak dan Ibu. Setelah selesai, Rena duduk bersama Ibu di meja makan. Ibu sedang menonton televisi sambil memakan camilan. Televisi menyiarkan film komedi saat ini. Saat Rena bergabung menonton televisi, tiba-tiba Ibu mematikan televisi. Tindakan Ibu membuat Rena sedikit terkejut.
“Lho, Bu? Kenapa dimatiin? Kan lagi nonton,” tanya Rena heran. Sedikit khawatir kalau Ibu kembali kesal padanya.
Ibu menghela napas dalam dan terdiam sejenak, “Rena, sekarang sudah waktunya.”
“Waktunya apa? Ibu mau makan? Atau sprei kamar Ibu harus diganti? Kayaknya Rena baru ganti tiga hari yang lalu. Apa udah kotor?” tanya Rena beruntun.
“Bukan, sekarang sudah waktunya kamu kembali mencari pekerjaan. Atau melakukan yang kamu suka. Kamu enggak bisa terus hidup seperti ini. Bapak sama Ibu seolah menjadi beban buat kamu. Kami menghalangi mimpi kamu.”
Dahi Rena berkerut. Meski mulanya ia merasa berat mengurus Bapak dan Ibu karena ingin bekerja, tapi sekarang Rena lebih menyukai menghabiskan waktu bersama dengan Bapak dan Ibu. Permintaan Ibu kali ini membuat Rena bingung.
“Enggak ah, Bu. Rena lebih suka merawat Bapak sama Ibu. Kalau Rena kerja, siapa yang mau merawat Bapak dan Ibu?”
“Bapak juga sudah mulai sehat, kok. Walaupun masih susah jalan,” ucap Bapak sembari keluar dari kamar. Alat bantu jalannya digenggam kuat agar menopang tubuh Bapak.
Melihat kondisi Bapak dan Ibu, Rena menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bagaimana bisa ia meninggalkan Bapak dan Ibu begitu saja? “Enggak, Rena aja yang merawat Bapak dan Ibu sampai sembuh. Nanti kalau Bapak dan Ibu sudah pulih benar, baru Rena kerja lagi. Ya?”
“Rena! Kamu ini. Semakin lama kamu semakin tua, nanti usia kamu bertambah, semakin susah cari pekerjaan. Ibu tahu kalau sekarang ada batasan umur untuk bekerja. Apalagi pengalaman kerja kamu juga belum banyak. Sekarang waktu yang tepat kamu kerja lagi, Nak. Jalani hidup kamu seperti yang seharusnya,” ujar Ibu panjang lebar.
Rena menundukkan kepalanya. Bukan ia tidak ingin bekerja, kadang dirinya ingin bekerja lagi dan mendapat uang untuk dirinya dan bisa membantu Bapak dan Ibu. Tapi disisi lain, Bapak dan Ibu masih membutuhkannya.
“Tolong, jangan buat Ibu semakin merasa bersalah setiap melihat kamu, Rena.”
Suara lembut Ibu terasa menenangkan bagi Rena saat ini. Ibu menggenggam tangan Rena, berusaha memberikan semangat untuk putrinya itu. Ibu kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kantung beludru berwarna biru tua.
“Ini, milik kamu Rena. Winda dan Tania sudah mengambil bagian mereka. Yang ini punya kamu.”
Rena melihat isi kantung beludru itu, terdapat satu set perhiasan emas disana. Rena buru-buru mengembalikannya pada Ibu. “Enggak, Bu. Jangan. Ini punya Ibu, pakai sama Ibu saja. Rena akan kerja, tapi jangan kasih Rena ini. Jangan dulu,” cegah Rena. Rena tidak ingin menerima hadiah itu.
“Rena, semua saudaramu sudah mendapatkan bagiannya masing-masing. Dhika mengambil bagiannya saat akan menikah. Winda dan Tania juga sudah mengambilnya waktu itu. Ini bagian kamu. Ambil, Rena,” ujar Bapak.
“Ibu simpan dulu saja. Nanti kalau Rena menikah, Rena baru ambil perhiasan ini. Ya, Bu? Selama Rena belum menikah, Ibu bisa simpan dulu atau pakai kalau Ibu ada perlu.”