Sayangku, Rena

Yusrina Imaniar
Chapter #30

Empat Bersaudara

Dhika berusaha menghubungi Winda dan Tania. Meski sulit, akhirnya mereka berhasil berkumpul bertiga. Dhika membuat janji untuk bertemu di kafe yang tidak jauh dari tempat Winda bekerja. Untungnya, Tania sedang tidak sibuk dengan kuliah. Suasana kafe yang menyenangkan berubah suram saat Winda dan Tania datang. Tania masih berusaha sedikit ramah pada Dhika, tapi Winda memasang wajah marah sejak bertemu.

“Kalian enggak mau pulang ke rumah? Memperbaiki semuanya? Sekarang Bapak dan Ibu sudah ada yang urus, jadi kalian enggak perlu capek mengurus Bapak sama Ibu lagi,” ujar Dhika mengawali pembicaraan. Winda menoleh dan menatap Dhika.

“Si Rena enggak mau urus Bapak sama Ibu? Bayar berapa buat pembantu?” tanya Winda sinis.

“Aku sama Bapak yang bayar. Kami enggak minta kamu tambah uangnya juga, Win. Bapak sama Ibu berharap kalian mau pulang. Kalian memang seharusnya minta maaf sama Bapak, Ibu dan juga Rena.”

Winda mendengus, “minta maaf?! Setelah semua perlakuan Bapak dan Ibu sama aku dan Tania? Bapak sama Ibu apa enggak lihat, kalau kami yang paling susah. Si Rena, datang ngurus Bapak sama Ibu udah enaknya doang!”

“Cukup, Winda! Kamu kenapa sih, sama Rena? Ini bukan masalah merawat Bapak sama Ibu, kan? Ini masalah hati kamu, kamu selalu iri sama Rena! Ayolah, akui kita juga salah. Kita bukan saudara yang baik buat dia,” ucap Dhika kesal.

“Wah, dia juga sudah cuci otak kamu, Kak. Hebat banget si Rena!” tambah Tania, mengompori Winda yang sudah emosi.

Dhika benar-benar tidak mengira kalau kedua adiknya ini sangat sulit diberitahu. Masalahnya, mereka terlalu membenci Rena. Landasannya, iri hati. Padahal jika dipikir, Winda dan Tania sudah menjadi anak kesayangan Ibu selama ini. Meski dalam diam, Dhika memerhatikan semua itu.

“Aku enggak dicuci otak. Aku melihat sendiri. Selama ini kalian sudah sangat dimanja sama Ibu. Bapak mungkin bersikap seperti itu karena untuk menjaga perasaan Rena. Dari kecil, Rena memang enggak punya siapa-siapa selain Bapak. Apa kalian semua lupa, bagaimana Ibu memanjakan kalian? Tapi kalian balas seperti apa? Aku tahu semua, aku sudah dengar bagaimana kalian merawat Bapak sama Ibu.”

“Kalian sering marah, sering membentak. Kalian juga mengambil perhiasan milik Ibu begitu saja lalu pergi. Kalian juga pernah, kan, menipu Rena supaya berganti jaga dengan alasan kalian sakit, tapi ternyata kalian pergi jalan-jalan. Apa kalian enggak merasa itu udah keterlaluan? Kita ini saudara, aku juga salah selama ini. Tapi sekarang aku sudah sadar, Rena tetap saudara kita,” tambah Dhika lagi.

“Ya kan itu karena…” Winda mencoba membela diri.

Brak! Tangan Dhika menggebrak meja kafe tempat mereka bertemu. Sontak beberapa kepala melihat ke arah mereka. “Aku benar-benar enggak habis pikir sama kalian. Kalian hatinya terbuat dari apa? Itu Ibu sama Bapak, mereka yang membesarkan kita. Rena juga, saudara yang tumbuh bersama kita. Apa kalian enggak punya sedikit rasa kasih sayang? Aku ingin keluarga kita kembali utuh, tapi kalau hati kalian memang begitu keras dan kotor, aku enggak bisa apa-apa! Terserah saja. Kalian mau pergi pun bebas! Jangan cari aku, Rena atau Bapak sama Ibu!”

“Kak, bukan gitu…” giliran Tania yang berusaha menenangkan suasana.

“Terserah, aku enggak peduli. Kalau kalian mau hidup kalian makin sulit, silakan. Ingat, tanpa Bapak dan Ibu, kalian bukan apa-apa. Harusnya kalian bersyukur, Bapak sama Ibu masih menyayangi kita. Banyak anak diluar sana yang bahkan enggak dapat kasih sayang orangtua!”

Setelah mengatakan itu, Dhika pergi dari sana. Meninggalkan Winda dan Tania yang terdiam membeku. Mereka merasa tertampar dengan semua ucapan Dhika. Bisa-bisanya mereka bersikap jahat pada Bapak dan Ibu padahal seumur hidupnya, mereka selalu disayang. Dhika kini tidak peduli lagi. Terserah saja mau bagaimana. Meski Dhika sudah bicara sampai berbusa sekali pun, jika hati Winda dan Tania sekeras itu, Dhika bisa apa?

*

Rena berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hari ini seharusnya ia diberitahu tentang hasil rekrutmen pegawai sebuah perusahaan. Rena mencoba melamar program management trainee, dan benar-benar berharap ia bisa menjadi salah satu yang diterima. Tiga bulan lamanya Rena mencari pekerjaan, dan ini adalah harapan terbesarnya. Entah sudah berapa kali Rena ditolak, jadi Rena benar-benar berharap mendapat pekerjaan ini.

Bapak dan Ibu menatap Rena dengan perasaan yang sama. Ikut khawatir dan gugup dengan hasil penerimaan. Sekar juga sedang ada disana, menjenguk Bapak dan Ibu. Sekar semakin sering bermain ke rumah Bapak dan Ibu karena bisa bertemu dengan Raka. Sementara itu, Mbak Nisa yang sekarang sudah diakui oleh Rena bagaimana pekerjaan dan ketulusannya pada Bapak dan Ibu, membawakan tiga cangkir teh.

Lihat selengkapnya