Kelima insan itu kini telah merapatkan duduknya, bersiap mendengar cerita dari Jevika.
“Jadi pas kemarin aku persiapan buat kunjungan, di depanku itu ada Melitha, Sania dan Pinkan lagi ceritaan tentang uang arisan gitu.”
“Mereka ikut arisan?” Joanne berteriak sangat kencang, memutuskan ucapan dari Jevika.
Keempat orang yang lain melirik ke arah Joanne dengan malas. Pasalnya Jevika belum menyelesaikan ceritanya tadi. Joanne malah hanya cengengesan karena di menerima tatapan kesal dari ke empat temannya.
“Jangan disela dulu ya Jo, masih panjang ini ceritanya. Jadi mereka itu ada ikut arisan terus Melitha bilang dia lagi gak ada uang buat bayar. Sedangkan uangnya harus terkumpul hari Minggu kemarin. Tapi, kalian ada liat gak status WAnya mereka bertiga? Lagi pada ngumpulkan buat arisan, berarti si Melitha udah ada uangnya. Darimana coba?”
“Siapa tahu dia dapat kiriman dari orang tuanya.” Ucap Jelita yang masih mencoba berpikir positif.
“Hei, kalian tahu gak nominal arisannya?” pertanyaan Jevika itu mendapat gelangan dari keempat temannya.
“Satu juta.”
“APA?” keempat temannya itu tak percaya mendengar nominal arisan tersebut.
“Dapat darimana mereka uang sebanyak itu?” tanya Joanne antusias.
“Kalau Sania sama Pinkan tajir melintir, sisa si Melitha aja nih. Kita semuakan pada tau bagaimana keadaan keluarganya.” Jelas Jevika.
“Memang si Jeprika kalau dapat info gak kaleng-kaleng.” Jeremy mengagumi kehebatan kakaknya itu.
“Masalah si Melitha nanti aku aja deh yang urus.” ucap Jelita. Kalau masalah pendekatan begini si Jelita memang paling handal. Nikolas hanya mendengarkan teman-temannya cerita berharap ada hasil dari pertemuan ini.
“Guys gabut.” Seru Nikolas dengan suara yang teredam, karena dia menutupi mukanya dengan kedua tangan.
“Hahaha, ayolah kita hibur bos satu ini.”
“Tapi pulang mandi dulu ya.” Saran Joanne yang masih rempong dengan barang-barang yang ia bawa dari rumah orang tuanya.
“Ia deh kita balik dulu terus nani jam 7 kumpul di kost Joanne.” Ucap Nikolas dengan tegas.
“Pulang sudah sana kalian.” canda Jevika pada ke empat temannya.
“Ngusir ya?” balas Jelita dengan sewot, tapi mereka bukan berantem. Emang udah biasanya mereka cerita begitu.