2
Itu bahkan masih terlalu pagi, ibu sudah tidak ada di dalam rumah. Aku berjalan keluar dan melihat jendela di ruangan di samping rumah sudah terbuka. Ibu selalu bekerja keras, antara memaksakan dirinya atau memang di luar kesadarannya, aku tidak tahu keduanya. Dia mungkin juga tidak pulang dari semalam, menghabiskan waktu yang seharusnnya ia gunakan untuk tidur dengan bermain-main bersama obat-obatannya. Dia seorang apoteker terandal di seluruh dunia jika aku bisa mengatakannya begitu. Seumur hidupnya dia gunakan untuk meneliti obat-obatan itu seorang diri. Tidak akan ada yang tahu karena pengetahuannya itu akan dibawanya mati seorang diri pula. Lagipula, mungkin juga tidak akan ada yang ingin tahu tentang apa yang sedang ia lakukan di sana.
Jika aku bisa mengingatnya juga, ibuku tidak pernah ingin membangun sebuah apotek di samping rumah kami. Dia memang lulusan farmasi di sebuah universitas yang bagus saat dia muda, tapi setelah menikah dia melakukan pekerjaan yang tidak dia inginkan. Setelah bercerai dari ayah, dia mulai membangun apotek itu dan menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Saat aku bilang dia pendiam, dia memang pendiam, mungkin karena dia mengonsumsi sejenis benzodiazepamin sesering yang dia bisa. Ibuku seperti seorang zombi dan mungkin karena dia juga tidak begitu bahagia. Tapi perceraian bukan satu-satunya penyebab. Dia bahkan menikahi ayah bukan atas dasar keinginannya. Itu adalah pernikahan spontan dua keluarga, sebuah eksperimen untuk membuatku ada di dunia ini, dan eksperimen itu gagal sehingga siapapun perlu mengakhiri hipotesisnya dan menulis ulang observasi.
Ibu tidak ingin aku kuliah di jurusan farmasi. Dia ingin aku melakukan apapun yang aku inginkan, dalam artian yang lain dia tidak peduli. Tidak, ini bukan semata-mata karena aku begitu sinis kepadanya sehingga kedengarannya aku begitu membencinya. Ibuku bukanlah seorang yang mudah dibenci, tapi sebaliknya dia mudah sekali mendapat rasa kasihan orang dan aku mungkin lebih membenci bagian itu ketimbang apapun.
Tokonya ramai. Di siang hari dia bisa melayani banyak sekali pembeli. Terkadang sepulang sekolah aku mendatanginya hanya untuk mencium beberapa serbuk gerusan obat yang jatuh di lengan jas putihnya saat aku mencium tangannya. Di waktu luangnya, dia membaca beberapa buku berisi kimia obat-obatan dan kupikir hanya saat itulah semua obat tidur yang biasa dia konsumsi mulai bereaksi.
Terkadang aku membantunya di sana, menerima beberapa resep atau mendengar keluhan penyakit dari beberapa orang. Aku bisa menghapal apa yang biasa ibu lakukan tanpa bertanya lagi pada ibu apa yang harus kuberikan pada mereka. Seperti kau bisa memberikan paracetamol pada orang yang menderita demam atau nyeri dan atau kau bisa memberikan penisilin pada beberapa penyakit seperti infeksi atau selulitis. Beberapa orang menginginkan triazolam agar bisa membuat mereka tenang, dan beberapa orang butuh modafinil untuk tetap terjaga.
Aku ingat, hari itu aku bahkan belum sempat mengganti rok abu-abuku saat aku menggantikan ibu di toko karena ibu sedang diare dan terus berlari ke kamar mandi. Bagiku, untuk kali pertama, Adlan Ruslan hanya sebuah nama yang pernah sekali dua kali kudengar karena kita satu sekolah. Dia mendatangi toko ibu masih dengan seragam putih-abu-abunya. Tubuhnya tetap kurus ceking. Rambutnya berantakan. Matanya sayu, menatapku dengan tatapan rendah. Jika tidak mengenakan seragam yang sama seperti seragamku, aku juga tidak akan tahu bahwa itu adalah dia.
“Kau punya Nitrazepam?” dia bertanya padaku, aku juga ragu saat itu bahwa dia tahu siapa aku, dia mungkin juga tidak sadar bahwa aku adalah teman satu sekolahnya.
“Resep dokter?”
“Kudengar apotek ini tidak perlu resep dokter. Pergi ke dokter hanya buang-buang uang saat aku bisa menangani tubuhku sendiri,” seperti hanya bergumam.
Aku menatapnya, menimbang-nimbang apa aku akan masuk ke dalam untuk bertanya pada ibuku atau tidak. Tapi sebelum aku menentukan pilihan itu, ibu sudah keluar dan menyusulku. Dia berdiri di sampingku dan menghadapi si pelanggan itu sendiri, tapi ekspresi ibu jauh berbeda dari yang aku pikirkan, dia tampak terkejut.
“Kamu butuh Nitrazepam?”
“Aku mengalami insomnia akut, aku sudah tidak tidur lebih dari tiga hari,” .
Aku menatap ibu dan wajah ibu menampakan raut wajah yang sulit. Dia mengernyitkan keningnya sebentar dan menimbang dengan cukup lama.
“Tetap saja kamu harus ke dokter, Nitrazopem bisa terlalu keras untukmu. Kami hanya bisa memberimu obat itu jika kamu punya resep dokter, aku akan memberimu obat yang lain.”