Kami bertemu lagi di sekolah. Aku dan Adlan. Setiap melihatnya dan dia balik melihatku, aku berpura-pura tidak mengenalnya. Dia punya komplotannya sendiri; beberapa anak pembuat rusuh yang kerjaannya hanya koar-koar, demo soal keadilan tapi semua isi omongan mereka hanya sekadar tong kosong. Mereka adalah sekelompok anak yang berani melawan guru saat mereka berpikir mereka benar. Gurauan kasar mereka selalu terdengar bahkan dari jarak terjauh dari mata bisa melihat ke arah mereka. Adlan salah satunya. Sejujurnya dia tidak sebanyak mulut seperti teman-temannya yang lain. Dia selalu tampak menyimak setiap teman-temannya sibuk mengobrol. Aku sering bertany-tanya, sejak apa yang terjadi, apa teman-temannya juga tahu bahwa Adlan seorang pengedar sekaligus pengonsumsi barang haram itu. Aku menutup mulutku rapat-rapat, berlagak aku tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang sudah terjadi hari itu.
Ina, teman satu kelasku, percaya atau tidak, begitu menyukai laki-laki semacam Adlan. Dia selalu memuji tubuh kurus ceking laki-laki itu dan kulitnya yang sepucat orang mati. Jika dia tahu seperti apa sebenarnya Adlan itu, dia pasti sudah dibuat illfeel.
Saat di kantin, kami berkumpul di salah satu meja dan menyantap makan siang kami. Saat itulah gerombolan Adlan dan teman-temannya mulai memasuki kantin, tentu saja obrolan keras mereka itu sudah begitu familiar.
“Lihat, Adlan juga ada di sana,” bisik Ina setengah histeris, membuatku meringis.
“Kudengar kemarin dia tidak masuk sekolah.”
“Dia memang sering sakit sejak kelas sepuluh, rasanya nggak pantas kalau dia nggak libur satu hari dalam satu bulan.”
“Kasihan sekali,” Ina mulai menggigit-gigit jari dengan sok menggemaskan, “dia mungkin kurang kasih sayang,” yang kemudian ditertawai semua orang di dekatku. “Jika dia tidak secuek itu pada semua orang, aku mungkin bisa sedikit mendekatinya.” dan beberapa orang itu mulai menggodanya membuatku bergumam akhirnya.
“Memang apa sih yang bisa disukai orang dari seorang sepertinya?” dan tampaknya ucapanku terdengar terlalu sinis karena teman-temanku mulai menatapku heran.
“Kenapa? Dia punya tampang yang lumayan kok menurutku,” bela beberapa orang.
“Dia juga wakil ketua sie kerohanian,” kata yang lain.
Benar saja, itu hanya kedok yang memang dia sembunyikan di balik wajah sok alimnya itu, membuatku semakin mual setiap kali mendengar namanya. Aku tidak berkata apa-apa lagi karena bisa saja beberapa orang malah akan menganggapku satu-satunya orang yang paling aneh sekarang.
Beberapa hari selanjutnya dan kupikir juga sudah lewat dari seminggu, Adlan tidak muncul di toko. Aku membawa beberapa novel yang kupinjam dari perpustakaan sekolah untuk kubaca selagi menjaga toko ibu selama seharian dalam seminggu. Ibu tidak bertanya apa-apa. Kupikir memang sudah seharusnya dia merasa malu untuk apa yang sudah dia perbuat dan tertangkap basah oleh anaknya sendiri. Sesekali kupikir dia memang mengharapkan orang semacam Adlan mendatangi tokonya karena selama beberapa hari itu dia jadi sama sekali tak berselera. Memang bukan hal baru, ibu selalu tampak tak berselera pada hidupnya. Dia nyaris tidak pernah tersenyum dan selalu bekerja keras walau kami tidak memiliki begitu banyak pelanggan. Saat-saat ini dia hanya tampak semakin mengerikan. Tanganya selalu gemetaran setiap memegang sesuatu bahkan hanya gelas untuk dia minum. Dia bisa meneguk tiga tablet obat dalam satu hari dan terkadang aku mendapatinya tertidur di meja tempat dia meracik obat yang bahkan tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Saat malam, dia sama sekali terjaga. Dia bisa menangis tanpa suara dan itu adalah tangisan yang kuat yang membuat punggunya bergetar dan dia sesenggukan. Aku benar-benar ingin membawanya ke dokter, tapi ibuku lebih percaya obat-obatan itu ketimbang dokter itu sendiri. Aku semakin tidak tahu bagaimana menangani ibuku. Bagian tersulit dari semua itu karena aku harus berpura-pura tidak peduli saat aku begitu ingin peduli padanya.
Keesokannya, salah satu temanku, Atika, bertanya apa aku bisa menemaninya sepulang sekolah mendaftar di salah satu lembaga bimbingan belajar yang berada tak jauh dari sekolah. Aku langsung mengiyakan permintaannya karena kupikir semakin banyak menghabiskan waktu di luar pasti akan semakin bagus.
Kami memutuskan berjalan kaki ke sana, melalui trotoar yang mengitari sekolah. Kami kemudian menyebrang dan memasuki salah satu jalan yang pohon-pohon besar dan jarang tumbuh di atas trotoarnya. Tempat les-lesan itu nyaris ada di ujung jalan. Itu pukul tiga tepat setelah jam pulang sekolah dan matahari tampak masih terlalu terik. Saat sampai di sana, Atika bertanya banyak hal soal pengajaran di tempat itu dan apa dia bisa mendapat paket belajar agar bisa membayar lebih murah. Dia menghabiskan setengah jam di sana sekaligus dengan mengisi formulirnya selagi aku duduk tak jauh di dekatnya. Tempat itu tidak terlalu ramai. Aku bisa melihat beberapa anak dari sekolah kami yang rupanya juga belajar di sana. Sesungguhnya, pasti menarik bisa belajar di luar rumah selain sekolah, tapi membayangkan ibuku dan kerja kerasnya, aku sadar semua ini hanya membuang-buang uang.
Di perjalanan pulang, kami melewati suatu kafe out door yang tidak terlalu bagus. Sekarang tempat itu benar-benar menarik perhatianku karena begitu ramai dan bahkan beberapa murid berseragam juga ada di sana. Motor-motor tampak terparkir di sepanjang jalan dan suara bising juga keluar dari tempat itu.
“Mau coba, nggak?” Atika tiba-tiba bertanya, “nasi goreng di sini enak banget loh,” membuatku meringis. “Ayo dong, laper banget nih,” dia nyengir. Aku menatapnya dan tempat ramai itu bergantian yang mungkin kemudian disalahartikan oleh Atika, “kamu pasti nggak boleh keluyuran, ya, Del?” tanyanya, tapi ucapannya malah memberiku tekad untuk bertindak sebaliknya.
“Kamu pikir aku anak kecil? Ayo,” aku menarik tangannya dan memasuki tempat itu.
Kami nyaris nggak dapat meja jika saja dua orang yang baru selesai makan itu tidak segera beranjak. Atika berlari lebih dulu untuk mendapatkan mejanya. Selagi aku duduk, dia kemudian memesan makanan.
Aku jadi melihat sekitar. Untuk pertama kalinya, aku jadi tahu di mana beberapa murid menongkrongkan diri mereka sepulang sekolah. Bukannya apatis atau anti sosial, aku juga tidak begitu suka menghabiskan waktu di luar. Aku selalu pulang lebih dulu setiap jam sekolah selesai.