Sayap Burung Patah

rimachmed
Chapter #4

Bagian 4

Itu pagi hari yang suram di hari minggu, bukan hanya untukku tetapi juga untuk ibu. Aku hendak menggantikannya belanja bahan makanan di pasar. Ibu memang tak pernah menyuruhku menggantikan tugasnya, tapi itu sudah menjadi kebiasaan kami setelah kepergian ayah untuk menggantikannya belanja di hari minggu. Aku bisa membeli setengah kilo daging ayam dan seikat kangkung untuk kami berdua. Setelah kembali aku melihat ibu berdiri di depan tokonya. Dia masih memegang kunci gembok toko dan tak hendak membukanya juga.

Dari sekali lihat, aku sudah tahu siapa laki-laki yang sedang berdiri memunggungi penglihatanku sekarang. Dia berdiri di hadapan ibu dan satu-satunya alasan yang membuat ibu bergeming di atas kakinya.

Aku sudah memasang mataku, menatap tajam pada satu titik itu sebelum kemudian menghampirinya.

“Della,” ayah melihatku dan langsung tersenyum lebar. Dia memelukku dan mengecup keningku lama, “ayah kangen banget sama kamu, kamu nggak kangen ayah?” Aku tidak menjawab. Ayah menatapku sampai senyuman lebar di wajahnya pudar juga.

“Adam ulang tahun yang ke empat hari ini, ayah dan Tante Naura mau ke taman rekreasi lalu memotong kue saat malam, kamu mau ikut, kan?”

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ayah saat dia bahkan hanya akan mengunjungiku dan ibu di setiap hari ulang tahun anaknya itu. Dia mungkin selalu mencoba mencari cara untuk mengembalikan keadaan dengan merekatkan keluarga lamanya dengan keluarganya yang baru. Tapi ayah tidak pernah memperbaiki apapun, dia hanya semakin memperburuk keadaan ini.

Aku menatap ke arah ibu dan aku benci melihat bagaimana ibu menatap ayah. Ayah bahkan tidak pernah memedulikannnya. Ayah meninggalkannya dan membiarkannya bekerja keras untuk mengurusku seorang diri. Tatapan ibu selalu kosong. Dia selalu menatap dengan tatapan tanpa arti, seakan dari tatapannya dia berkata ‘sekarang aku tahu kenapa kamu meninggalkan kami, mereka memang lebih baik dari kami.’ kutarik bola mataku ke atas dan menarik napasku banyak-banyak. Mataku jadi panas lagi seperti semua perasaan buruk mencoba menusuk ke dalam mataku. Sebelum air mata itu sempat turun, aku berbalik dan masuk ke dalam rumah. Ayah mencoba memanggilku dan aku takkan pernah menghiraukannya, tidak selagi dia masih bersama dengan keluarga barunya. Kulempar kantong belanjaan di atas meja dan aku berlari ke dalam kamar.

Aku tidak pernah suka hari itu. Hari itu selalu menjadi hari terburuk untukku dan untuk ibu. Dalam beberapa hari ke depan, perasaan kami juga akan selalu buruk dan ibu jadi semakin parah. Ibu bukan hanya meneguk lebih banyak obat penenang miliknya, tapi dia juga mulai merokok di dalam kamarnya. Dia memang tidak pernah menunjukannya padaku, tapi aku bisa melihatnya dengan sangat jelas. Semakin dia menyembunyikannya semakin itu tampak jelas di dalam mataku.

Saat pagi, aku terbangun karena mendengar suara teko menjerit yang tidak pernah aku dengar sepanjang pagiku sebelumnya. Aku keluar kamar dan mendapati ibu di dapur. Dia menuangkan air dari teko ke dalam cangkir berisi teh celup. Dia bahkan menambahkan bubuk kayu manis ke dalam tehnya, meraih teh itu kemudian menghirup asapnya dengan mata terpejam seakan aroma itu sudah masuk ke dalam darahnya dan menenangkannya. Keadaannya tampak lebih baik dari yang aku kira. Dia sudah mandi, rambutnya disisir rapi dan dikuncir ke belakang. Saat dia berbalik dan melihatku, dia tersenyum.

“Kamu sudah bangun,” dan senyuman hangat itu langsung mengirim kehangatan yang sama ke dalam hatiku yang kemarin sudah sedingin es, sekarang tengah mencair dan kembali ke bentuk semula. “Mandilah, ibu buatkan teh juga untukmu.”

Lihat selengkapnya