Sayap Burung Patah

rimachmed
Chapter #7

Bagian #7

7

Aku tidak bisa tenang. Sebanyak apapun aku tidak ingin memikirkannya, sebanyak itulah pikiran itu mampir di kepalaku. Aku sudah berbaring di atas kasurku sepanjang hari, menatap langit-langit kamarku dengan perasaan tidak enak. Sebenarnya apa yang sudah dikatakan Adlan? Itu sama sekali tidak masuk akal. Dialah orang pertama yanng menemui ibu dan membicarakan hal keji itu pada ibu. Dia yang pertama kali mengenalkannya pada ibu, mustahil bahwa dia tidak ada sangkut pautnya soal ini.

Aku jadi dibuat jijik sendiri. Betapa berani dia mencoba menciptakan omong kosong yang tidak bisa dipercayai seperti itu. Sekali dia orang biadab, dia tetap menjadi orang orang biadab di mataku. Walau dia memasang mata tak berdosa seperti pagi tadi. Kernyitan tipis di keningnya membuatnya tampak seperti orang lemah yang sudah lama disakiti. Kenapa aku kellihatan yang paling berdosa sekarang. Aku menamparnya dan menuduhnya untuk sesuatu yang tidak dia lakukan. Dia pasti melakukannya, dia hanya berpura-pura seakan tidak melakukannya. Tapi... Bagaimana jika dia memang tidak melakukannya. Tidak, itu tidak akan merubah apapun, bagiku dia masih orang jahat yang mencoba menjerumuskan orang lain dengan tampang tak berdosanya itu.

Seorang mengetuk pintu kamarku aku langsung membangkitkan tubuhku dan duduk di atas kasur. Tante Naura menampakkan wajahnya. Dia masih mengenakan baju bagus sehabis pergi dari luar. Tentu saja aku tahu ke mana semua uang ratusan juta milik ayah habis, wanita itu sudah hidup sangat berjaya semenjak mengenal ayah. Dia jadi tampak persis sekali seperti wanita penjilat di dongeng Cinderella, bedanya, dia sangat pintar untuk memasang wajahnya. Dia yang paling munafik dari semua orang yang kukenal sepanjang hidupku.

“Tante buat pasta banyak banget, kamu mau?”

“Aku tidak suka pasta.”

“Benarkah, ayahmu bilang kamu suka sekali pasta.”

Aku membaringkan tubuhku, tidur dengan memunggunginya, “ya, itu dulu, sekarang aku sangat membencinya,” ucapku yang pasti membuat wanita itu diam seribu bahasa. Aku bisa merasakan bagaimana dia bergeming cukup lama di daun pintu. Ada sesuatu yang ingin dia katakan sebelumnya. Aku bertaruh pasti ada banyak sekali drama yang ingin ia mainkan di depanku. Sekarang tidak ada lagi. Dia mendesah napas berat kemudian menutup pintunya.

Aku meraih ponselku dan melihat itu sudah pukul tujuh malam. Aku sudah seharian di rumah dan sekaranng aku merasa teramat bosan. Tidak ada pesan apapun di sana. Semenjak insiden itu, percayalah, temanku jadi tidak punya apa-apa lagi yang harus mereka katakan padaku. Dalam artian yang lain aku benar-benar sudah diasingkan sekarang. Pasti ada satu hal yang bisa aku lakukan. Aku jadi berpikir keras, sesuatu yang bisa membantuku untuk keluar dari lingkaran setan yang ada di kepalaku. Aku bangkit berdiri dan mengganti celana tidurku dengan celana jins. Aku pun keluar dari kamar.

Di ruang tengah, Tante Naura sibuk menyuapi anak laki-laki empat tahun yang sedang gila gadget itu, menggunakan sebagian besar waktunya untuk binatang-binatang yang sedang berjoget-bernyanyi, dengan makaroni. Saat aku keluar, dia tampak sumringah.

“Nah, ini Della, kamu bisa makan jatahmu,” seakan aku keluar dari kamarku adalah untuk menyenangkannya atas masakan yang baru saja dia buat itu.

“Aku mau keluar.”

“Keluar? Kemana? Ini sudah malam.”

“Kupikir, itu bukan urusanmu.” yang membuat Tante Naura diam seribu bahasa lagi. Aku hanya menatapnya dengan tatapan sengit. Apa aku juga harus meminta izinnya ke mana aku harus pergi. Kupikir selagi ayah tidak ada di sini, dia harus berhenti berpura-pura peduli padaku.

Lihat selengkapnya