7 ½
Dia duduk di sana
Menatap satu titik kosong di dalam dirinya
Terlalu gelap untuk melihat jelas
Sehingga diteguknya satu pil dengan air
Dibungkamnya pikirannya
Tapi dia tidak pernah lari
Dia masih duduk dan diam
Sedikit demi sedikit
Menatap rasa sakit itu pergi
Ayah tampak marah besar saat mendapatiku pulang pagi itu. Dia sudah rapi dengan seragam kantornya. Pintu itu jelas sengaja dibuka dan dia tampak seperti akan menungguku seharian jika saja aku tidak pulang.
“Kamu pikir kamu bisa bertindak seenaknya seperti ini!?” dia berteriak. Tante Naura yang tadinya tampak tak bisa menduga teriakan ayah, menatap ayah lekat-lekat. Aku jadi bertanya-tanya apa ini kali pertama dia mendengar ayah berteriak, menggelikan sekali. “Jika kamu tidak suka tinggal di rumah ayah dan lebih suka tinggal di jalanan, ayah tidak akan menahanmu. Tapi jika kamu masih mau berada di sini, jaga sikapmu,” aku masih melihat ke dalam matanya dan aku masih bisa melihat sesuatu yang terbakar di sana, dia bahkan tidak mengedipkan matanya, menatapku dengan pelototan tajam. Sebelum kemarahan kembali menguasainya karena aku tetap bersikukuh menatap matanya tanpa rasa bersalah, ayah langsung bangkit dan pergi.