Sayap Burung Patah

rimachmed
Chapter #10

Bagian #10

10

Sepanjang jalan, Adlan terus mengusap wajahnya dengan kain yang ia ambil asal-asalan dari rumah kosong itu. Kami keluar dari rumah. Langit sudah gelap. Adlan berjalan tak jauh dari depan sebuah rumah lain yang sebuah sepeda motor terparkir di depannya dan lalu menaikinya.

Aku tepat berada di belakangnya dan tampak tidak tahu apa yag harus aku katakan padanya. Dia sudah di atas motornya, menyalakan motornya dan bersiap pergi. Aku menelan ludahku.

“Tidak naik?” dia menunggu, membuatku gelagapan. Kuraih bahunya dan aku naik ke belakang kursinya.

Aku diam saja, tidak bertanya ke mana dia akan membawaku. Dia berhenti di depan rumah kecil tanpa lampu teras. Tembok rumah itu sudah mengelupas dan kehitaman. Aku turun lebih dulu karena dia sudah membuka helmnya dan mematikan mesin motor.

Adlan berjalan ke arah pintu rumah, merogoh kantongnnya untuk mengambil kunci dan membuka pintu rumah itu. Di dalam gelap. Ruangan itu berbau lembab seperti rumah yang sudah lama tidak dibuka. Ada sofa dengan busa yang sudah kempes berwarna hijau tua kotor di ruang depan. Ada pintu lain di sana yng kuduga adalah kamar. Aku tidak hendak melajukan kakiku lebih jauh dari ruang depan rumah itu selain memperhatikan Adlan. Dia masuk ke dalam dapur untuk mengambil air kemudian membawa air itu masuk ke dalam kamar. Aku menengok untuk melihatnya. Dia membuka laci dari salah satu nakas dan mengeluarkan plastik bening dari sana. Dikeluarkan beberapa tablet darinya, kemudian diteguknya dengan air.

“Apa itu benda yang membuatmu tidak bisa merasakan apa-apa?” tanyaku begitu saja.

Adlan menoleh ke arahku. Aku benci sekali dengan raut datarnya itu seakan tidak ada yang terjadi.

Pada akhirnya dia mengabaikanku, mengambil pakaian dari lemari kemudian berjalan melewatiku. Dia memasuki kamar mandi dan menutup pintunya dengan segera.

Aku tidak tahu lagi kenapa aku bisa ada di sini, aku juga tidak bisa pergi sekarang. Dalam keadaan seperti ini aku tidak mau pulang ke rumah ayah. Aku juga tidak mau dia menemukanku jika aku memilih kembali ke rumah ibu. Aku duduk di atas sofa, terus-terusan menatap ke arah pintu. Setelah lima belas menitan berlalu, laki-laki itu keluar dari kamar mandi. Aku bisa melihat jelas di mana saja luka yang menyebabkan wajahnya berlumuran darah. Sekarang sudah bersih, luka itu memerah dan sedikit mengangah. Pasti perih. Membuatku meringis.

“Pulanglah,” kata Adlan, selepas menggosok rambut basahnya dengan handuk, disampirkannya handuk itu ke bahunya. Kemudian dia menatapku lekat menunggu jawaban.

“Aku tidak mau pulang.”

“Apa?” matanya yang tidak lebar itu melotot.

Lihat selengkapnya