13
Aku menaiki taksi menuju kompleks perkampungan Adlan. Yang aku ingat kompleks itu dekat dengan daerah pembuangan sampah, cukup kumuh dan terlalu banyak rumah. Menurutku tempat ini adalah tempat persembunyian yang bagus untuknya. Di malam hari masih terlalu banyak orang yang menonton. Orang-orang ini, beberapa masih membuka pintu rumahnya dan memperdengarkan suara TV mereka dari dalam.
Aku melihat pemandangan jalan rumah-rumah itu sepanjang aku menuju ke sana karena bodohnya aku tidak mengingat dengan benar di mana rumahnya. Tak terbesit sedikit pun waktu itu aku akan balik kemari. Kemudian di sanalah aku menemukan Adlan, duduk di atas kursi kayu bersama seorang laki-laki yang takkan kulupakan wajahnya. Laki-laki itu tampak terus bicara omong kosong dan Adlan cuman menundukkan kepalanya. Bagaimana mungkin mereka masih bisa bertemu seperti itu? Kupikir setelah aksinya beberapa hari yang lalu, mereka bakal memburunya sebelum kemudian membunuhnya. Laki-laki itu tertawa dan Adlan juga tampak terkikik dibuatnya. Sekarang mereka benar-benar tampak seperti sepasang teman lama.
Pada akhirnya aku menemukan rumah itu, rumah tanpa jeruji dan teras rumahnya sangat sempit dan pendek, seperti rumah-rumah di sana pada umumnya. Aku menunggu mungkin selama sejam lamanya, terkadang duduk di atas teras itu. Beberapa hari ini aku bahkan tidak bisa tidur. Aku juga membolos sekolah dan sudah lupa bagaimana caranya belajar. Jika lebih lama lagi dengan gaya hidup seperti ini, aku mungkin akan mejadi tidak ada bedanya seperti geladangan. Sebentar pemikiran itu benar-benar memukulku, teringat ucapan ibu waktu dia masih memiliki akal sehatnya
“Kamu harus jadi orang sukses, Della, dengan itu kamu bisa bahagia.”
Jika aku jadi gelandangan, tanpa tujuan tanpa uang, maka sia-sialah bagaimana ibu berusaha keras mendapatkan uang dari pekerjaan yang begitu dibencinya, apoteker. Sia-sia juga hidupnya yang sudah sampai membuatnya gila. Dalam arti lain, sia-sia sudah kegilaannya.
Aku terbangun kemudian saat seorang menyenggol bahuku beberapa kali. Tanpa sadar aku sudah tertidur mungkin beberapa menit lamanya sambil telungkup di atas lutut.
“Apa ada penjelasan yang cukup waras kenapa kamu masih ada di sini?” Adlan berjalan melaluiku, dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan kunci. Dibukanya pintu rumahnya. Aku beranjak bangkit dan menarik tas koperku bersamaku.
“Aku tidak percaya kamu masih bisa menemui laki-laki itu. Terakhir kali yang kuingat kalian hampir saling membunuh. Apa ada penjelasan yang cukup waras soal itu juga?”
Adlan menghadapkan tubuhnya ke arahku dengan tampang tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. “Jangan mengalihkan pembicaraan.”
Baiklah, sesaat memang aku terlalu takut untuk mengucapkan maksudku. “Kamu harus bertanggung jawab.”
“Apa?”
“Coba ingat-ingat bagaimana hidupku dapat berubah drastis semenjak mengenalmu. Ibuku kecanduan, kemudian dia masuk rehab, aku harus kembali bersama ayahku, aku hampir diperkosa sekelompak anak-anak nakal, aku juga tidak bisa kembali ke sekolah karena semua orang membicarakanku, aku tidak bisa tidur dengan tenang untuk beberapa hari. Kehidupanku benar-benar kacau dan semua itu karenamu.”
Adlan kembali memasang tampang tidak bisa berkata-kata itu lagi, perlahan aku mulai puas jika dia memasang tampang itu. Dia menekan kepalanya sebelum bicara “Memangnya ibumu atau kamu adalah orang bodoh yang bisa sebegitu saja menyetujui jika bukan dari kehendaknya dan kehendakmu sendiri?”
“Kamu memasuki kehidupan seseorang saat ia berada di keadaan terlemahnya, itulah yang terjadi.”
“Semua orang bisa masuk ke dalam hidupmu, Della, jika bukan seorang pengedar sepertiku, pasti orang jahat yang lain yang akan melakukannya,” katanya , dan aku tak suka saat dia menatapku dengan tatapan rendahnya. Untuk pertama kalinya dia bahkan menyebut namaku dan menyebut dirinya sendiri pengedar dan orang jahat. Aku terdiam cukup lama sampai Adlan berbalik lebih dulu. “Sekarang, pulanglah. Sudah malam.”
“Biarkan aku tinggal di sini,” kejarku cepat, “untuk sementara,” tekanku.
“Kenapa kamu memilih tinggal di rumah orang yang paling kamu benci dan yang paling tidak ingin kamu temui?” dia melotot tapi matanya masih tidak begitu lebar.
“Benar!” ucapku. Dia memang yang paling kubenci dan yang paling tidak ingin kutemui setelah ayah. Entah kenapa, aku berpikir bahwa inilah satu-satunya tempat yang aman untukku sekarang. Aku tidak bisa mengelak bahwa hidupku sudah berubah tidak aman dan kapanpun berandalan waktu itu bisa kembali menyerangku. Dengan cepat bayangan soal Adlan menyelamatkanku sudah cukup menenangkanku. “kenapa waktu itu kamu menyelamatkanku?”
“Kamu pikir aku menyelamatkanmu? Aku menyelamatkan diriku sendiri. Mereka tidak mungkin membiarkanku lari begitu saja, kamu tahu sendiri mereka hanya ingin main-main. Jika aku tak balik menyerang, mereka masih akan berulah.”
Keningku mengeryit, masih tidak bisa menerima begitu saja penjelasannya.
“Lalu bagaimana dengan laki-laki yang kamu ajak bicara tadi? Kalian sudah berbaikan?” dengan tampang tak percaya.
Adlan tidak lagi menjawab. Dia mungkin sudah kelelahan meladeniku. Dia berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. “Malam ini saja. Besok kamu sudah harus tahu ke mana kamu akan pergi.”
Aku menarik koperku masuk dan duduk di sofa. Adlan tampak bersiap-siap untuk tidur. Seperti terakhir kali yang kuamati, dia punya kebiasaan yang sama. Dia masuk ke dalam kamar dan mengambil pakaian dari dalam lemari. Dia berjalan ke meja makan dan menuangkan air dari teko sebelum kemudian meminumnya. Dia masuk kamar mandi dan mandi selama 20 menit. Dia keluar dengan rambut basah yang tidak dikeringkan sehingga bagian atas bajunya jadi basah. Sebelum masuk kamar dia mematikan semua lampu selain lampu teras dan mengabaikanku. Selanjutnya dia masuk ke dalam kamarnya, menutup pintunya. Lampu kamarnya selanjutnya padam. Aku masih saja terus menontonnya walau dalam gelap. Saat itulah semua kehampaan itu kembali datang menyerang.
***
Laki-laki gendut itu kembali datang ke rumah. Aku mengira pasti dia memang sering datang menengok Adlan, tapi aku tidak bisa menebak siapa dia. Dia bahkan tidak punya kemiripan apapun dengan Adlan untuk bisa disebut keluarga. Dia juga datang membawa dua bungkus makanan untuk mereka makan berdua. Saat melihatku membukakan pintu untuknya, dia tampak terdiam beberapa saat sebelum kemudian memilih mengabaikan alasan keberadaanku.
“Dia masih tidur?” tanyanya.
“Entahlah,” aku mengerdikan bahu, “mungkin sedang mengurung dirinya sendiri.”