13½
Ibuku orang hebat
Dia sakit untuk membiarkanku sembuh
Dia jatuh untuk membuatku berjalan
Dia mati untuk membiarkanku hidup
Saat aku bangun dari tidurku, aku masih di atas sofa dengan posisi yang sama. Saat aku melihat ke lantai, Adlan sudah tidak di sana tetapi masih ada bercak darah yang belum dibersihkan di sana. Aku meraih belakang celanaku dan merasakan benda itu juga masih di sana, artinya Adlan tidak menyentuhku selagi aku tertidur. Aku melihat HP-ku dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ada tiga panggilan tidak terjawab dari ayah.
Aku tidak hendak meneleponnya balik atau menjawab teleponnya jika saja dia menelepon lagi. Ayah juga meninggalkan pesan dan aku hendak segera menghapusnya, tapi saat melihat sekilas kata ‘ibumu’ aku langsung membukanya.
Ibumu kabur dari tempat rehab, dia juga tidak ada di rumahnya. Telepon ayah jika kamu sudah baca
Begitulah isinya. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menelepon ayah. Suara pertama yang kudengar adalah pertanyaan ayah di mana aku sekarang, tapi aku tidak langsung menjawab.
“Bagaimana dengan ibu?”
“Polisi sedang mencarinya, kondisinya sedang gawat Della. Dia kehilangan akalnya, ayah takut jika dia sampai menemuimu. Dia bisa mengambil sikap brutal.”
Aku menatap kosong satu tempat di mataku dan semuanya berubah berkabut. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan, di satu sisi aku begitu ingin mengabaikan soal ibu dan keberadaannya. Di ujung sana ayah mencecerku dengan pertanyaan di mana aku tidur semalam, tapi aku langsung mematikan telepon.
Aku berpikir setiap tempat yang bisa dikunjungi ibu. Jika ibu tidak ada di rumah saat ini. Aku jelas tahu di mana ibu berada. Aku jadi ingat kakek dan nenek. Sebelum semua perceraian itu terjadi, kakek dan nenek meninggalkan ibu lebih dulu. Kakek pergi lebih dulu karena serangan jantung dan tak lama nenek menyusul. Mungkin itulah yang menjadi kegilaan pertama bagi ibu. Ayah mulai mengamuk untuk banyak hal yang terjadi pada ibu, apapun yang ibu lakukan. Aku tahu ibu memang sensitif sekali pada banyak hal. Dia seperti seseorang yang mengidap bipolar. Emosinya terkadang berubah drastis. Dia bisa menangis terlalu keras pada satu waktu. Dalam waktu cepat dia ingin melakukan satu hal dengan begitu bersemangat seakan dia lupa apa yang baru saja terjadi. Pertengakaran-pertengkaran mulai sering terjadi. Rumah penuh teriakan, ibu atau pun ayah, aku juga berteriak pada mereka. Tidak ada hari tanpa teriakan-teriakan gila itu.
Aku meraih jaketku dan segera memakainya. Aku berlari keluar dari rumah Adlan dan menuju satu-satunya tempat yang langsung terbesit di kepalaku: rumah lama kami, rumah sebelum perceraian. Ibu pernah mendatangi rumah itu sebelumnya saat dia mulai overdosis obat-obatannya sendiri. Dia tidak bisa tidur dan pikirannya menggila.
Belum begitu jauh, aku berhenti di atas kakiku. Aku tidak berani menemui ibu dan bagaimana pun keadaannya sekarang. Yang jelas aku pasti kalah. Jika ibu memintaku tinggal bersama, aku mungkin akan menurutinya. Jika dia memintaku pergi jauh, aku juga pasti mengiyakannya. Jika dia memintaku mati bersamanya, aku akan melakukannya.
Aku diam di sana, tanpa menyadari seberapa banyak waktu terbuang. Teleponku berdering dan nomor tak dikenal muncul di sana. Aku mengabaikannya sekuat yang kubisa. Kumainkan segala sesuatu di kepalaku untuk menyibukanku. Nyatanya semuanya kembali lagi, suara-suara ibu yang terus mencoba memanggilku dan membuatku gila. Kupengangi kepalaku agar tidak pecah.