Sayap Burung Patah

rimachmed
Chapter #16

Bagian #16

16

Festival sekolah hanya diadakan sekali dalam setahun. Setiap kelas harus mengajukan ide untuk mempromosikan kelas mereka. Kelas yang mendapatkan banyak pengunjung akan memperoleh penghargaan di akhir festival. Aku memutuskan untuk kembali ke sekolah dan berharap bahwa acara festival sekolah ini dapat mengalihkan perhatian semua orang dariku.

Aku juga kembali ke rumah ayah dan ayah sempat tidak mengajakku berbicara sama sekali, berlagak seakan aku tidak di sana. Tante Naura setidaknya masih memperlakukanku seperti anak kecil yang hanya sedang ngambek karena kondisi keluarga yang kacau. Sebelum berangkat kerja ayah menyempatkan mengantarku ke sekolah, lagi-lagi tanpa bicara apapun padaku dan aku juga tidak punya bahan pembicaraan apapun dengannya.

Hari itu, untuk persiapan festival, kami membuat beberapa bahan makanan dari ubi dan menjualnya di stan kami di lapangan. Festival sekolah selalu ramai dan seru. Di tengah lapangan sudah disiapkan panggung untuk adu talenta. Ada yang menunjukkan atraksi menari tradisonal, ada juga yang menunjukkan kemampuan membaca puisi, nge-band dan banyak yang memilih untuk menyanyi solo. Sebagian besar anak dari tiap kelas sudah membentuk grup sendiri untuk menyoraki perwakilan anak dari kelas mereka masing-masing. Aku memilih menjaga stan olahan ubi kami dengan lima orang lainnya.

Aku tidak menghitung, tapi tampaknya aku sudah kembali masuk sekolah selama seminggu. Itu bahkan jauh dari yang kubayangkan. Tidak ada yang terjadi di sekolah. Semua orang tampak cuek dengan keberadaanku dan itu lebih baik. Aku juga kembali disambut di dalam sekelompok gadis di kelasku yang biasa aku ikuti. Aku tak populer dan tak pernah jadi populer, aku hanya butuh sedikit kebersamaan seperti itu agar tidak menjadi populer dalam arti yang menyedihkan. Begini lebih baik, aku mengikuti pelajaran seperti biasa dan tidak ada guru yang menyangkut pautkan urusan pribadiku lagi. Aku makan di kantin bersama-sama saat seorang mulai bicara “ayo”. Aku mendengarkan obrolan mereka dan tertawa walau hanya desahan tak nikmat saat seorang mulai membahas tentang sesuatu yang lucu. Setidaknya, aku telah mencoba menjadi normal. Sesungguhnya, yang membuatku kembali datang ke sekolah adalah Tante Naura. Setiap malam dia menengok ke kamarku dan memastikan aku masih ada di sana, entah itu adalah inisiatifnya atau suruhan dari ayah.

Setiap malam dia juga bertanya, terkadang di meja makan atau terkadang jika dia menangkap basah aku tidak sedang pura-pura tidur di kamar, “mau mencoba mendatangi sekolah lagi?” nada bicaranya memang selalu manis, walau mungkin dia sedang mencoba menyiratkan sesuatu di sana. “Kamu tidak mau menyesal saat tua karena tidak menyelesaikan sekolahmu, kan?”

“Huft” aku menghela napas akhirnya, karena rasanya aku sudah tak sanggup jika tidak berbicara dengan siapapun lagi beberapa hari itu, “kenapa aku harus berada di dalam satu tempat yang penuh dengan orang-orang dungu? Mereka tidak punya kerjaan lain selain menindas seseorang.”

“Kenapa kamu berpikir mereka menindasmu?”

“Lalu apa lagi? Mereka membicarakanku di belakangku, yah, seseorang teman memberitahuku. Mereka juga jelas-jelas menjadikanku bahan tontonan, bahkan seorang guru menjadikanku contoh buruk di tengah pelajaran!”

“Jika aku jadi mereka, Della, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku akan membicarakanku di belakangmu, menonton semua gerak-gerikmu, atau menjadikanmu contoh di pelajaranku jika aku seorang guru. Karena kamu terlalu mencolok, jika kamu tidak menginginkan perlakuan itu, bertindaklah normal walau menurutmu pasti membosankan. Yang pasti lebih memalukan jika sampai kamu tidak lulus sekolah.”

Pada akhirnya, tepat keesokannya, aku memutuskan untuk sekolah. Aku sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa alasanku kembali adalah Tante Naura, aku bilang bahwa hari festival sekolah segera datang.

“Kamu tertarik festival sekolah?” ayah sempat menyeletuk walau tak mengangkat kepalanya dari ponselnya dan secangkir kopi di tangannya yang lain. Aku tak menjawab, tapi Tante Naura deangan nada bicaranya yang manis mulai menyahut.

“Tentu saja, ayah, semua anak normal menyukai festival sekolah,” yang berhasil membuatku cemberut pada akhirnya

Tidak banyak yang terjual, bahkan jarang sekali yang melewati stan kami. Lagipula siapa yang masih menyukai ubi saat ini. Stan lain menyajikan makanan yang lebih modern seperti pasta sampai dessert dengan bentuk yang menarik.

Asyik menunggu membuatku diam-diam mencari. Adlan mungkin berada di belakang acara festival. Dia memang selalu aktif dengan kepanitian. Aku tidak bisa bohong, walau aku menginginkan dia sakit hati atas ucapanku, tapi aku tidak bisa tak mengacuhkannya kemudian. Setelah meninggalkannya hari itu, aku terus memikirkannya tanpa aku bisa menahannya. Adlan tak menjawab ucapanku hari itu, dia hanya menundukkan kepalanya dan bungkam.

“Del,” salah seorang temanku menepuk bahuku, “mau lihat-lihat bareng nggak? Biar Aurel yang jaga stan,” ucapnya. Ya, jika aku berkeliling, besar kemungkingkanaku untuk bertemu Adlan dan memastikan bagaimana responnya saat melihatku. Apa dia kesal atau mungkin dia terkejut jika mendapatiku sudah kembali sekolah.

Aku mengelilingi beberapa stan termasuk stan dari kelas Adlan, IPS-3. Kelas miliknya menjual barang-barang sehari-hari yang semuanya berhubungan dengan portabel: kipas portabel, lampu usb, kotak musik bluetooth. Tidak ada Adlan di mana-mana. Apa jangan-jangan hari ini dia tidak masuk, lagipula dia memang senang membolos.

“Kalau kamu Del?” temanku tiba-tiba bertanya sambil menggoyangkan bahuku. Aku tidak mendengar sama sekali dari tadi dia ngomong apa.

“Kenapa?”

“Kalau kamu ditunjuk jadi perwakilan kelas, kamu bakal nampilin apa? Nyanyi, nari, drama? Anak-anak hobi banget bikin kolaborasi sih. Kalau kamu?”

“Aku?” memangnya apa yang bisa aku pamerkan ke semua orang, yang ada lama-lama berdiri di depanku bisa-bisa mereka jadi muak dan meneriakiku untuk segera turun.

Lihat selengkapnya