Aku ingin hidup tentram di rumah walau bersama ayah. Ayah juga tak banyak mengungkit apa-apa. Kebanyakan dia diam saja dan tidak berkomentar soal apa yang aku kerjakan. Aku mengerjakan tugas sekolah dengan baik, menghabiskan banyak waktu dengan belajar untuk menyusul ketertinggalanku. Terkadang kami makan di luar dan aku juga tidak berkomentar untuk apapun yang tidak aku suka, walau biasanya aku pasti akan berkomentar walau aku menyukainya. Semua pertanyaan apa aku menyukainya atau tidak selalu kujawab skeptis.
Tante Naura tampak terus mencoba mendekatiku. Dia tak pernah bosan menanyakan bagaimana hari-hariku di sekolah, apa ada yang menggangguku, apa pelajarannya susah, atau apa ada guru yang mengincarku. Dia selalu saja memancing dan aku menjawab tidak lebih dari tiga kata saja. Dia membuatkanku makanan saat aku mengerjakan tugas. Dia juga menyarankan agar aku mengundang beberapa teman dan belajar di rumah. Anak laki-lakinya juga beberapa kali mendekatiku, mungkin ata perintah dari Tante Naura, misalnya untuk bertanya soal apapun yang ada di buku belajar membaca dan menulisnya, dia juga memintaku membacakan dongeng untuknya di siang hari saat aku sedang ingin bersantai. Aku tidak pernah menunjukan keantusiasanku sama sekali. Aku sedang mencoba berdamai sebentar saja dengan hidupku.
Itu hari minggu, ayah sedang ada perjalanan dinas sejak hari jum’at dan dia dibayar lebih untuk bekerja juga di akhir minggu. Sesungguhnya aku juga tidak pernah mempermasalahkan keberadaannya. Ada atau tidak ada ayah, sama sekali tak ada bedanya bagiku. Aku sudah pernah merasakan semuanya. Hari itu Tante Naura mencoba lagi, dia mengajakku dan Adam pergi berjalan-jalan. Dia sempat bertanya pagi-pagi sekali aku ingin sekali ke mana. Awalnya kubilang aku sibuk belajar.
“Ayolah, Della, luangkan waktumu. Kamu juga perlu refreshing.”